Pemilu 2019 Tak Selesaikan Krisis dan Masalah Lingkungan di NTT
Editor: Mahadeva
KUPANG – Persoalan krisis dan masalah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Timur tidak mendapatkan perhatian serius di panggung perdebatan politik Indonesia.
Masyarakat, terutama pemilih selalu disesaki narasi klise mengenai kesejahteraan, melalui setumpuk janji. Padahal, sejumlah krisis dan masalah masih bertumpuk begitu nyata di tengah masyarakat NTT. “Di NTT, masih ada persoalan tambang dan geothermal, pariwisata massal, perkebunan tebu dan kemiri di Sunan dalam skala besar, industri garam. Semuanyab adalah sebagian dari begitu banyak kebijakan yang hulu persoalannya ada di nasional,” tandas Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Rabu (3/4/2019).
Umbu menyebut, kebijakan-kebijakan di bidang tersebut, telah dan sedang berdampak buruk bagi masyarakat di NTT dan ruang hidupnya. Seperti persoalan alih fungsi lahan dalam skala besar, akibat dari ekspansi perkebunan tebu di Sumba Timur dan Kemiri Sunan di Bajawa.
Kemudian ada persoalan privatisasi wilayah pesisir dan laut, dampak dari upaya pengembangan industri pariwisata, yag berdampak hilangnya akses terhadap air demi industri pariwisata dan geothermal serta tambang.
Saat ini, juga sedang terjadi aksi kekerasan dan kriminalisasi demi pembangunan resort mewah di Sumba Barat. Belum persoalan kerusakan lingkungan, hanya untuk memenuhi ambisi nasional dalam mengembangkan industri garam di Kabupaten Malaka.
P. Alsis Goa, OFM, Direktur JPIC OFM Indonesia mengatakan, fakta krisis, masalah dan cerita kelam di tengaj rakyat NTT, akibat ambisi pemerintah yang dibalut dengan alibi pembangunan diyakini tidak akan terselesaikan. “Hal ini justru berpotensi memperparah laju krisis dan masalah. Di lingkaran capres-cawapres yang berkontestasi, terdapat para pejabat, politisi, dan pengusaha yang memiliki kepentingan besar dalam mengamankan dan melanjutkan investasinya di berbagai daerah di Indonesia,” ungkapnya.