Penebusan

CERPEN KIKI SULISTYO

PELATUK ditarik. Bunyi pelor berdesing. Dari kerimbunan daun seekor burung terbang. Sebagian bulunya rontok. Melayang-layang sebelum jatuh ke tanah.

Adamir tertawa. Rayen bersungut-sungut. “Apa kubilang, kau memang tak becus menembak. Kau takkan bisa jadi pemburu,” kata Adamir.

Rayen mengokang bedilnya. “Diam. Kutembak kau nanti!” Adamir langsung diam. Dia sadar adiknya itu bisa saja benar-benar menembaknya. Seorang lelaki berteriak dari jauh. Mereka berdua menoleh.

Lelaki itu berjalan tergopoh ke arah mereka. Tubuhnya gempal dengan bulu-bulu di lengan dan cambang yang tak rapi.

Ia mengenakan rompi, celana jins serta sepatu tinggi.

“Apa yang kau tembak, Ray!” teriaknya.

“Burung,” jawab Rayen pelan. Saat lelaki itu sampai, ia langsung menatap tanah di sekelilingnya.

“Kena?” tanyanya. “Tidak. Rayen tidak bisa menembak hahaha,” jawab Adamir.

“Diam!” seru Rayen. Tangannya dikepalkan dan tanpa ragu-ragu menghantam wajah Adamir. Tak siap dengan serangan itu, Adamir nyaris terjengkang.

Lelaki itu menahan tubuh Rayen yang hendak menyerang lagi. “Jangan mengejek adikmu. Kau sendiri bahkan tak becus mencari rumput!” teriaknya.

Adamir tak pernah diberi kesempatan memegang bedil. Lelaki itu, bapaknya, hanya menyuruhnya melakukan hal-hal lain. Mencari rumput untuk makan ternak, mengumpulkan kayu bakar, membersihkan rumah, pergi ke pasar.

Dia tidak suka melakukan hal-hal itu. Bukan karena dia malas, toh, semua pekerjaan selalu dibereskannya. Tetapi, dia ingin juga diberi kesempatan ikut berburu, sebagaimana Rayen.

Kadang, diam-diam, tanpa sepengetahuan keluarganya, dia ikut berburu bersama warga lain.
Namun kesempatan itu hanya terjadi sesekali saja dan dia berusaha keras memanfaatkannya.

Lihat juga...