Penebusan

CERPEN KIKI SULISTYO

Dia mengusap mata kanannya. Ada memar di situ. Mungkin matanya bengkak akibat terkena tinju tadi.

“Mana karungmu?” tanya bapaknya. “Tugasmu mengumpulkan buah atau apa saja yang bisa dimanfaatkan. Jangan bawa satu, bawa dua karung. Kau sudah cukup besar untuk membawanya.”

Adamir menunjukkan barang yang dibawanya, dibukanya lipatan dan terlihatlah dua lembar karung goni.

“Air minum adikmu sudah?” Kembali bapaknya bertanya. Adamir menunjukkan botol berisi air yang terikat di pinggangnya.

Lelaki itu mengusap-usap kepala Rayen sambil tersenyum. “Ayo berangkat.”

Beberapa hari setelah Adamir lahir, bapaknya menikah lagi dengan seorang perempuan dari kota. Peristiwa tersebut diceritakan ibunya ketika dia sudah besar. Dia dibawa ibunya ke acara pernikahan itu.

Adamir sungguh tak bisa memahami, terbuat dari apa hati perempuan itu sehingga bisa demikian kuat menanggung sakit. Ibunya tak pernah kelihatan sedih meski suaminya tidak lagi tidur di rumah.

Memang lelaki itu tetap datang di siang atau sore hari karena ia tak menceraikan ibunya dan sebaliknya ibunya pun tak minta diceraikan. Semua kebutuhan keluarga tetap ditanggung lelaki itu.

Meski begitu ibunya tak cuma berpangku tangan. Perempuan itu punya usaha sendiri. Dia berjualan apa saja. Sejak kecil Adamir sudah terbiasa membantu ibunya.

Pernah suatu hari ketika bapaknya datang dan melahap kue yang hendak dijual, Adamir menatap lelaki itu dan berkata, “Bayar!” Bapaknya berang.

“Anak kurang ajar! Siapa yang mengajarimu, ha?” Lelaki itu menyambar kursi kayu dan melemparkannya ke Adamir. Anak itu terjengkang. Punggungnya memar.

Tetapi tak lama kemudian bapaknya mengobati memar itu dengan ramuan yang dibuat ibunya. Saat-saat itu dia kembali tak mengerti, kenapa keduanya tampak akur-akur saja. Apakah kelakuan dan perbuatan bapaknya atas persetujuan ibunya?

Lihat juga...