Penebusan
CERPEN KIKI SULISTYO
Rayen melihat seekor burung hinggap di batang pohon. “Aku mau menembak burung,” katanya tiba-tiba. Dia memeriksa bedilnya. “Kau tak bisa menembak,” kata Adamir.
“Kalau bapak membiarkan aku memegang bedil. Aku pasti sudah jadi pemburu yang mahir,” lanjutnya.
“Ha? Hahaha, cari rumput saja kau tak becus,” ujar Rayen.
“Berani taruhan?” kata Adamir.
“Kau tak pernah pegang bedil. Bagaimana mau menembak?”
“Kau berani taruhan atau tidak?”
“Brengsek. Kalau kau kalah apa hadiah untukku?”
“Apa maumu?”
“Pergi dari rumah dan tidak usah kembali lagi.”
“Begitu juga sebaliknya. Kalau kau kalah, kau yang pergi.”
“Baik. Hahaha, selamat tinggal. Habis ini kau langsung pergi. Tak usah menunggu Bapak.”
“Jangan banyak cakap. Siapa yang duluan?”
“Aku. Lihat burung itu? Akan aku jatuhkan dia.”
Rayen mengokang bedil. Pelor sudah ada di dalamnya. Dia membidik, sebelah matanya disipitkan. Pelatuk ditarik. Bunyi pelor berdesing. Dari kerimbunan daun seekor burung terbang. Sebagian bulunya rontok. Melayang-layang sebelum jatuh ke tanah. Adamir tertawa.
“Apa kubilang, kau memang tidak becus menembak. Kau takkan bisa jadi pemburu,” kata Adamir. Rayen bersungut-sungut.
“Giliranku,” kata Adamir bersiap mengambil bedil dari tangan adiknya. Tapi Rayen menahan bedil itu.
“Tidak. Aku akan menembak lagi.”
“Kau curang. Berikan bedil itu.”
“Tidak. Kau tak pernah pegang bedil.”
“Tapi kita sudah sepakat. Beri aku bedil itu dan akan kujatuhkan semua burung di hutan ini.”
“Hahaha, kau tak dengar kata Bapak tadi? Mau kuulang lagi? Kau bahkan tak becus mencari rumput!”
Adamir meraih bedil dan menariknya. Rayen bertahan.
Tubuhnya lebih kecil, tenaganya tak akan cukup untuk menahan tarikan. Maka diayunkannya popor bedil itu ke wajah Adamir. Benturan membuat Adamir terhuyung dan pegangannya lepas.