Evaluasi Pemilu Serentak 2019

OLEH M. IWAN SATRIAWAN

M. Iwan Satriawan - Foto: Istimewa

Norma pelaksanaan pilpres yang dilakukan setelah pileg telah nyata tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan makna pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22 E ayat (1), (2) dan pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Putusan tersebut memang tidak serta merta dilaksanakan pada pemilu 2014, namun harus dilaksanakan pada pemilu 2019 yang akhirnya dalam perjalanannya menimbulkan pro dan kontra dengan berbagai dinamika yang menyertainya sehingga perlu untuk dilakukan evaluasi. Dengan harapan pada pemilu 2024 kelak akan menjadi lebih baik lagi.

Evaluasi Pemilu 2019

Pemilu serentak di satu sisi dapat menghemat waktu pelaksanaan dan anggaran biaya, namun di sisi yang lain telah menghasilkan dinamika masing-masing.

Berdasarkan data Jawa Pos, korban meninggal akibat pemilu serentak menjadi 326 orang dengan rincian sebagai berikut: KPU sumatera total 44 orang, KPU Jawa 179 orang, KPU Bali, NTT, dan NTB 8 orang, KPU Kalimantan 11, KPU Sulawesi 9, KPU Maluku dan Papua 2 orang. Sedangkan untuk Bawaslu meninggal 55 orang.

Untuk aparat keamanan sendiri Polri telah merilis dari jajarannya meninggal 18 orang. Ini belum yang sakit akibat pemilu serentak dari KPU 1761 orang, 959 orang dari Bawaslu dan korban kekerasan serta kecelakaan dari Bawaslu 188 orang.

Berdasarkan hal tersebut maka menurut penulis setidaknya ada 6 (enam) hal yang perlu dievaluasi terkait pemilu serentak ini adalah sebagai berikut: (1) Banyaknya partai politik peserta pemilu berakibat pada banyaknya calon anggota legislatif baik dari tingkat DPRD kabupaten/kota hingga pusat dan DPD.

Seharusnya dengan diadakan pemilu serentak partai politik peserta pemilu harus disederhanakan dengan maksimal 10 partai politik, bukan 20 partai politik dengan rincian 16 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal.

Lihat juga...