Indef Ingatkan Risiko Kerja Sama ‘BRI’ Cina-Indonesia
Editor: Koko Triarko
JAKARTA – Peneliti Institute of Development for Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, mengatakan, kerja sama antara Indonesia dengan Cina melalui Belt and Road Initative (BRI) telah dijalin sejak 2013. Namun secara resmi dimulai pada 2015, ketika kedua pihak menandatangani joint statement.
Menurutnya, BRI dalam perdagangan dan industri, merupakan investasi Cina, utamanya dalam bentuk infrastruktur di jalur sutra. Dengan jalur sutra ini, diharapkan produk yang dihasilkan oleh Cina dan program inisiasi industrialisasi Cina (Made In China 2025).
“Cina melakukan apa yang disebut sebagai manifestasi reglobalisasi di tataran ekonomi, termasuk ekspansinya di Indonesia,” kata Andry, dalam diskusi bertajuk ‘Efek BRI Terhadap Perdagangan dan Industri di Indonesia’, di Jakarta, Sabtu (11/5/2019) sore.
Dengan jalinan BRI, Cina tidak perlu khawatir dalam distribusi barang yang mereka hasilkan. Karena infrastrukturnya sudah terkoneksi dari negaranya menuju Eropa dan Asia, bahkan hingga ke Afrika.
Dalam joint statement BRI antara Indonesia dan Cina, beberapa proyek telah disetujui. Diantaranya, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung dan beberapa KEK lainnya, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, pengoperasian tahap 1 PLTU 10,000 mega watt, hingga partisipasi dalam proyek lima tahun listrik 35,000 mega watt.
Cina sendiri merupakan mitra dagang utama Indonesia. Yang mana frekuensi dari perdagangan antara kedua negara ini tertinggi di antara mitra dagang lainnya.
“Yakni mencapai US$ 72,6 miliar pada 2018,” jelas Andry.
Ada pun komoditas utama yang diimpor oleh Indonesia dari Cina adalah peralatan elektronik, mesin dan besi baja. Sementara yang ekspor oleh Indonesia adalah produk sawit dan batu bara.