Ia mengikuti mandi belimau untuk mempertahankan tradisi, meskipun tidak tahu tentang sejarahnya.
“Ikut karena mempertahankan tradisi. Tidak ada doa tertentu. Ya mandi bawa air limau, potongan jeruk dikasih daun serai,” kata perempuan berhijab ini.
Tradisi “Belimau” yang awalnya dilakukan warga di kampung-kampung, kini digelar lebih besar skalanya karena mendapatkan perhatian pemerintah daerah. Di Siak Hulu, mandi belimau digelar dengan skala besar di Desa Buluh Cina karena area itu sekarang menjadi Taman Wisata Alam.
“Sekarang makin ramai yang ikut, dari warga daerah lain juga banyak yang datang,” ujarnya.
Kun Wardoyo (52), warga Kota Pekanbaru, mengatakan tidak lagi tertarik mengikuti tradisi mandi belimau setelah mulai memperdalam agama Islam.
Ia mengaku terakhir ikut mandi belimau saat remaja pada dekade 1990-an karena sekadar ikut-ikutan teman sebayanya.
Ia bahkan rela menempuh jarak sekitar 60 kilometer dari Pekanbaru ke Kampar untuk ikut mandi massal tersebut.
“Saya ikut karena rasa ingin tahu. Banyak kawan indekos asal Kampar mereka selalu pulang kampung untuk mandi belimau. Tapi setelah saya mendalami agama, saya tidak mau ikut lagi karena mandinya bercampur laki-laki dan perempuan apalagi anak mudanya,” ujarnya.
Tradisi “Belimau” kini banyak dikemas oleh pemerintah daerah menjadi acara wisata. Hampir di semua 12 kabupaten/kota di Riau kini menggelar acara mandi belimau dengan nama yang berbeda-beda. Apakah semuanya sudah kehilangan makna sejatinya sehingga jadi komoditas semata?
Menanggapi hal ini, Ketua LAM Riau, Junaidi mengatakan, yang perlu selalu dijaga adalah jangan sampai pelaksanaan tradisi “Belimau” melanggar ketentuan-ketentuan agama.