Penceng Penunggang Angin
CERPEN FERRY FANSURI
KE mana kaki ini melangkah, selalu ada bunga liar di tepi jalan yang mekar, setelah layu seketika mirip bunga putri tidur di area pemakaman.
Tak sadar kesialan itu mengikutiku, mereka mengendap-endap kemudian menyergap dan melahap tanpa sisa.
Kesadaran mulai pulih setelah digoyang bus ekonomi dari terminal Ubung menuju Gilimanuk. Atas kebaikan kondektur memberi tumpangan, biar pun itu separuh harga dari karcis reguler, aku pun terjebak di belakang tempat menyimpan barang dengan posisi menekuk karena penumpang di dalamnya penuh.
Aku sendiri tak tahu mau ke mana, setelah kejadian di Bali itu masih menyisakan kenangan buruk yang melekat di kepala ini. Bus ekonomi yang aku tumpangi berhenti di Probolinggo, ada kendala di mesin hingga mengepul asap hitam kelebihan beban.
Kondektur berteriak untuk oper bis dan itu akhir dari perjalananku, aku terdampar di pinggir jalan pantura buatan Daendels ini.
Masih tanpa sore belum menjelang malam, perut ini sudah keroncongan agak mililit tapi aku tahan. Aku rogoh saku celana dan hanya 3 lembar seribuan serta 2 keping 50 rupiah, hanya ini yang kupunya.
Jadi harus dihemat untuk makan sampai aku dapat kerja kembali lagi untuk menutupi kekurangan atau sekedar makan untuk bertahan hidup.
Mungkin aku agak lelah dengan langkah gontai menahan lapar yang sangat, cacing-cacing dalam tubuhku mulai berteriak demo agar dipenuhi hak mereka.
Mata ini terlihat ada kabut yang mendera dan membayang, energi terasa loyo memberikan efek lisut pada wajah ini.
Sedetik saja aku nampak terhuyung-huyung dan terjatuh, tapi tiba-tiba aku dikejutkan gerombolan berlari ke arahku. Mereka tampak terburu-buru, seperti tak melihatku dan terus merangsek.