Penceng Penunggang Angin
CERPEN FERRY FANSURI
Ada juga aspal jalanan, Penceng begitu suka akan sepakbola bahkan tergila-gila atas si kulit bundar itu. Sayang di tempat asalnya tidak ada kesebelasan bola yang jadi role model buat dia.
Penceng tertambat dengan klub Bajul Ijo dan berikrar setia menjadi Bonek (bodho nekat) seutuhnya beserta atribut di dalamnya.
Ke mana kesebelasan kebanggaan Surabaya itu berlaga, pasti Penceng ada di sana. Istilah bonek melekat pada dirinya, Penceng rela jalan kaki, nyari omprengan atau tidur di trotoar demi melihat kesebelasannya berlaga.
Sesekali Penceng juga turut bentrok antar-suporter, kalah menang tak masalah tapi harga diri adalah utama.
“Kenapa kalian berlari dari kejaran orang-orang hitam itu? Serta kenapa juga kau menolongku?”
Penceng tak menjawab pertanyaanku, dan hanya mengernyitkan dahi kepala, kemudian tertawa terbahak-bahak mendengar itu semua.
“Hahaha, aku pikir kau bonek juga. Karena kulihat kau memakai kaos berwarna hijau. Jadi aku menolong kamu.”
Penceng terus saja tertawa seperti menyindir diriku.
“Terus mereka itu siapa?”
“Oh, mereka yah. Ah biasa seteru bonek.”
Sebelum Penceng menjelaskan panjang lebar masalah yang terjadi tadi, ia mendengar suara keroncongan perutku begitu keras.
“Hahaha kawan, ayo makan dulu. Orang tak bisa berpikir jika keadaan mereka lapar.”
Penceng seperti membaca pikiranku, ia membawaku ke sebuah warung sederhana di dalam pasar dekat terminal. Penceng menyodorkan sepiring nasi, aku pun terbelalak dan menelan air liurku sendiri.
Tanpa sopan santun lagi, langsung kusikat masuk kerongkongan leherku. Kukunyah nasi bertekstur gurih, lauknya ikan asin, tempe dan tahu tempet. Rasa lezat bercampur pedasnya sambel terasi ditambah segarnya lalapan menambah cita rasa. Tak tahu apa nama nasi itu, tapi aku ingin menambah lagi.