Penceng Penunggang Angin

CERPEN FERRY FANSURI

“Boleh kan aku menambah nasinya?”

“Hahaha kamu mau nambah nasi glepungan? Silakan kawan, aku yang traktir.”

Rasa lapar itu tak mengindahkan sopan santun atau lainnya, begitu juga saat Penceng menjelaskan bahwa yang kumakan itu nasi glepungan, yang merupakan makanan khas Probolinggo-Lumajang.

Bahkan aku tak peduli jika tahu nasi glepungan itu berasal dari sisa-sisa penggilingan jagung yang tak terpakai yang dicampur nasi.

Peduli setan, nasi ini benar-benar enak atau memang cacing-cacing dalam perut yang berteriak dan harus dilampiaskan. Setelah ini aku mengikuti ke mana Penceng karena ia bagaikan dewa penyelamat diriku yang harus disanjung.

Penceng tak pernah kehabisan energi, ia suka sekali berlari dengan telanjang kaki. Tak pernah kulihat kakinya yang kering dan kecil itu memakai alas kaki, tiada sandal atau sepatu. Telapak kakinya terlihat mengeras ngapal sekeras intan dan aspal tak mampu menggoresnya sekalipun.

Tradisi masa kecil yang membuat Penceng suka akan berlari, ia bercerita bahwa dirinya sejak kecil dididik oleh bapaknya untuk menjadi tangguh dan tak cengeng.

Bahkan saat ibunya meninggal, saat melahirkan adiknya, bapaknya melarang.

“Anak laki-laki itu dilarang menangis.”

Itu kata bapak Penceng sewaktu menenangkan kala ia bersedih melihat jasad ibunya masuk liang kubur dengan bungkusan kain kafan putih itu.

Anak laki-laki dari suku Tengger macam Penceng telah terbiasa akan pasir yang berbisik di kaki Bromo. Bapak Penceng sejak awal memang penghuni asli Tengger yang sering menyongsong turis yang datang ke Bromo dengan kuda.

Ia menyewakan kuda untuk ditunggangi oleh para turis dan ia berlari disampingnya untuk mengendalikan tali kengkang.

Lihat juga...