Penceng Penunggang Angin
CERPEN FERRY FANSURI
Gumitir itu yang diucapkan akan nama bapaknya, Gumitir mendidik Penceng tentang kehidupan, tidak perlu sedu sedan, dan berharap meneruskan pekerjaan miliknya sebagai penunggang angin di Bromo.
Awalnya, Penceng mengikuti kemauan Gumitir untuk menjadi penunggang kuda karena ia suka berlari. Penceng bisa merasakan hembusan angin, debu dan kabut saat berlari di samping kudanya.
Terasa semua terhenti sejenak, waktu berjalan lambat dan terasa menyenangkan. Penceng menikmati itu semua tapi ia terasa terkungkung di sana, merasa bosan itu-itu saja dan ingin melihat dunia luar.
Penceng mendapat dunia baru saat melihat tabung televisi Toshiba milik Lek Giman, milik tetangga kampungnya, dan satu-satunya.
Tahun 1990 industri televisi swasta masuk, semua informasi serta hiburan pelan-pelan masuk dan mengganti channel pemerintah yang membosankan itu.
Selain Kotaro Minami sebagai idolanya, sepakbola telah mengisi botol jantungnya yang lain.
Terpesona dengan si kulit bundar dan para pemain yang terus berlari, apalagi tim besar dari Surabaya sedang berlaga, Penceng jatuh hati akan gocekan Mustaqim dan Yusuf Ekodono, mereka begitu piawai menggiring bola dan menjebloskan ke gawang lawan.
Penceng ini seperti mereka, tapi ia tahu Gumitir pasti melarangnya. Penceng kadang mengendap-ngendap pergi dari Bromo untuk turun ke kota saat tim Bajul Ijo berlaga.
Tak lama Penceng ketahuan oleh Gumitir, ia dihajar habis-habisan dan dilarang keluar dari rumah. Tapi namanya Penceng, tak bisa dihentikan dan dikalahkan akan niatnya, maka ia minggat tak pamit. Itulah saat Penceng bertemu aku demi mengejar impian sebagai bonek sejati.