Penceng Penunggang Angin

CERPEN FERRY FANSURI

“Tidak merasa lelah sama sekali?”

“Tak rindukah kau akan kampung halamanmu?”

Pertanyaan itu selalu kutujukan kepada Penceng dan juga diriku sendiri yang mungkin tak mempunyai rumah untuk pulang.

Tapi, Penceng tak pernah menjawab, dan hanya tertawa atau mungkin ia sudah tahu jawabannya. Setelah ini, Penceng layaknya sahabat karib yang lama kukenal, mau tak mau aku mengikuti langkah dia.

Penceng begitu piawai akan jalanan dan tahu bagaimana menghidupi dirinya sendiri.  Untuk makan tak pernah Penceng meminta-minta dan memelas kepada orang lain.

“Mengemis itu perbuatan cengeng,” katanya.

Penceng pantang memajang wajah bermuram durja untuk mengais sejumput rupiah, ia lebih rela berpanas-panas mengangkat beras dari truk pengangkut ke dalam toko Koh Abun atau menjadi tukang cuci warung mbok Darmi.

Dibayar makanan sisa pun ia mau, asalkan bukan basi, tak sepertiku dulu memulung botol plastik atau mengamen.

Penceng lebih baik memeras keringatnya untuk mendapatkan sesuatu, aku merasa kagum akan dirinya. Ia tampak sumeh atau suka tersenyum terhadap siapa pun hingga banyak yang menawarkan bantuan cuma-cuma.

Seperti saat itu kami duduk-duduk di depan ruko dengan menahan perut yang keroncongan menahan lapar tadi pagi belum diisi sesuap nasi, para cacing di perut kami berteriak minta jatah.

Saat melilit memegangi perut sambil melingkar pedih di pojok ruko itu, tiba-tiba ada ibu-ibu yang mengenali Penceng dan menghampiri kami.

“Kalian pasti belum makan.”

Ibu setengah baya itu memberikan dua bungkus nasi yang baru dibelinya dari pasar. Awalnya Penceng menolaknya. Tapi melihat diriku yang sangat kelaparan, ia tak tega.

Lihat juga...