Penceng Penunggang Angin

CERPEN FERRY FANSURI

Aku pun tak sungkan-sungkan mengambil dan melahap dengan rakus. Penceng melihat itu hanya tertawa lepas, ia seperti melihat hiburan buat hatinya yang kosong.

“Nih buat kamu, habiskan jika tidak entar kucing di rumah mati lho. Hahaha…”

Penceng menyerahkan jatah nasi bungkusnya, aku cuma melongo dengan hasrat perut yang tak tersampaikan itu. Aku tak segan meraih bungkus berkaret gelang itu, tanpa babibu langsung tandas.
***
KADANG pernah aku bertanya kepada Penceng, kenapa kau tak mau pulang saja di kampung halamanmu yang di puncak gunung itu.

“Jika pulang, aku tak bisa berlari lagi.”

Sebuah jawaban yang membingungkan, tapi aku paham apa yang ia risaukan. Penceng kepingin bebas dan tak dikekang tradisi kolot yang akan diturunkan untuknya sebagai penunggang kuda Bromo.

Penceng melihat dunia dengan menjadi bonek sejati biar pun ia kadang tak tahu mengapa terkadang terjebak dalam kerumunan itu dan saling adu mulut jika bertemu suporter lainnya.

Itu terjadi sekali lagi, Penceng dan aku ikut berlari saat suporter lawan merangsek ketika ada yang memprovokasi dengan melempar botol atau menggoda suporter wanita.

“Lari. Sarmin. Lari.”

Layaknya letusan senapan untuk mulai sprint, entah kenapa aku tak paham jika melihat raut wajah Penceng begitu sumringah membuncah.

Tampak kesenangan melengking. Berbagai benda tumpul melayang, kami berusaha menghindari sambil melirik ke belakang berharap kerumunan itu menghilang.

Kekagumanku tak berhenti sampai di situ, Penceng mempunyai ketahanan dan daya napas juang tinggi. Berlari itu membutuhkan asupan oksigen sempurna tapi Penceng tak terlihat bahwa ia kehabisan napas.

Lihat juga...