Penceng Penunggang Angin
CERPEN FERRY FANSURI
Mungkin karena Penceng terbiasa di puncak Bromo yang kadar oksigennya rendah hingga paru-paru dan aliran darah mampu mengikat oksigen maksimal.
“Ayo Sarmin. Ayo kejar aku.”
Penceng seperti mengejek diriku yang tersengal-sengal, merasa terhina dan tak mau kalah. Aku mulai menambah kecepatan untuk menyusul Penceng, apalagi dari arah belakang teriakan memaki membahana dan mengejar.
Tak sia-sia, aku mampu mengejar Penceng bahkan aku berada di sampingnya.
“Nah begitu, masak kalah sama keong. Hahaha.”
Penceng tertawa menoleh ke samping diriku, tiba-tiba…
“Braakk.!!!”
Penceng terpelanting dan jatuh nyungsep di aspal, tak sadar atau tidak memperhatikan di bagian depan. Sebuah becak melitas keluar dari gang dan tepat bersamaan Penceng menubruknya.
Ia jatuh bagaikan ranting yang meranggas, tergeletak tak berdaya dan aku hanya memandang dari kejauhan saat gerombolan beringas itu menemukan Penceng.
Ia jadi bulan-bulanan kawanan suporter yang kalap itu, semua muntahan, bogeman dan tendangan tertancap di tubuh Penceng.
“Sekarat.”
“Lunglai.”
“Roboh.”
Lelehan darah itu membuat Penceng terdiam di sana, kawanan itu puas telah menghabisinya. Aku tak bisa berbuat banyak, kaki lemas melihat itu semuanya. Siapakah yang harus disalahkan atas semua ini?
Atas nama fanatik berlebihankah atau solidaritas salah kaprah? Aku tak tahu, yang kutahu Penceng meregang nyawa di sana.
Perihal yang bisa kulakukan hanya membawa jasadnya dan memberitahu tentang Penceng kepada keluarganya. Gumitir mendengar kabar tersebut langsung meraung-raung berteriak memanggil Penceng.
Gumitir berceloteh bahwa garis keturunan telah terputus dan pupus, ia pun menangis sejadi-jadinya. Saat melihat itu semua, entah kenapa aku menghampiri ia dan menepuk pundaknya.