Tenggelam
CERPEN NEVATUHELLA
WONG cilik (orang kecil) hidup semakin keras. Jatah beras pemerintah yang biasanya diterima setiap bulan kini sudah menjadi enam bulan sekali.
Harga bahan pokok naik makin menjadi-jadi. Semua dirasakan rakyat dengan diam. Bahkan sesekali muncul pikiran menyalahkan diri sendiri. Mengapa menjadi orang miskin!
Orang kaya semakin nambah jumlahnya. Kekayaan pun makin melimpah ruah. Tak bisa terbayangkan oleh wong cilik kekayaan macam apa yang dimiliki mereka. Jumlah uang miliaran biasa bagi mereka.
Mereka tinggal di rumah-rumah mewah atau apartemen-apartemen bertingkat menjulang tinggi. Dilengkapi dengan taman-taman dan sungai buatan seperti di luar negeri. Negeri ini sudah maju dengan bangunan-bangunannya.
Bodoh, miskin, terbelakang dengan cara apa pun hidup harus diterima. Karena merasa memang tak ada yang harus dituntut. Karena kebodohan mereka sudah akut.
Untung Tuhan yang maha pengasih dan penyayang selalu membuat hati mereka damai dalam kemelaratan.
Perempuan-perempuan rakyat miskin sebagian tidak bisa menerima kemiskinan. Mereka ingin memiliki barang-barang mewah seperti orang-orang kaya juga. Mereka merasa bisa mengubah nasib dengan menjadi tenaga pekerja di luar negeri.
Pemerintah yang berkuasa senang dan bersorak-sorai. Para pekerja wanita ini menghasilkan pemasukan uang bagi negara.
Pemerintah bahkan sudah merencanakan sebuah areal pekuburan bagi pahlawan pencetak pemasukan uang ke negara, yang bahasa para sarjananya sebagai pahlawan devisa.
***
DI sebuah negara beginilah, Makrun tumbuh. Sejak usia dua belas tahun ia sudah mulai memberontak. Pasalnya memang, selain kemiskinan, ialah kedua orang tuanya.