Tenggelam
CERPEN NEVATUHELLA
Pemerintah menyatakan stok beras dan sembako lainnya masih aman. Bahkan seandainya juga hujan turun seminggu lagi.
Begitulah hujan tak berhenti-henti. Sudah lima belas hari berlangsung. Orang-orang satu republik sebagian besar sudah menjadi korban banjir.
Mereka masih bertahan, berada di atas gedung-gedung tinggi yang selama ini dibanggakan negara sebagai bangunan hebat.
Simbol kemajuan peradaban. Di situlah tinggal tauke-tauke, pejabat swasta dan negeri yang punya uang dan kekuasaan.
Ketika itulah Makrun sampai mendarat di bumi, tepatnya di dekat rumahnya, ia kaget. Hanya rumahnya dan musala yang tinggal didapati. Ia menemui bangkai ayahnya di depan rumah mungil kumuhnya.
Rumahnya itu menjadi rumah terkuat yang pernah dilihatnya. Sebab semua bangunan bertingkat puluhan, bahkan ratusan tingkat, sudah hancur menjadi bubur. Padahal rumahnya hanya setengah batu dan triplek-triplek bekas.
“Ke mana mayat-mayat lainnya?” tanyanya lirih. Mengapa hanya mayat ayahnya yang ada. Lagi pula mengapa berada tepat di depan pintu masuk.
Makrun menggali tanah untuk menguburkan mayat ayahnya. Sore hari ia baru berhasil mengubur karena tak ada cangkul di sekitarnya.
Ia terpaksa menggunakan broti-broti rumahnya. Begitu selesai mengubur, Makrun ingin menanam sepotong pohon apa saja di atas kuburan.
Tapi tak didapatinya sebuah pun. Terakhir ia hanya menancapkan sebuah broti untuk menandai kuburan ayahnya itu.
Beberapa hari Makrun hanya minum untuk mempertahankan hidup. Ia selalu mencoba mengingat-ingat tentang diri dan kehidupannya. Siapa sebenarnya dirinya? Apa yang pernah dirasakannya?
Mula-mula yang diingatnya tentang kabar akan datangnya bencana banjir. Tentang kedua orang tuanya yang bercerai. Tentang tetangga-tetangganya yang miskin, tinggal di sela-sela gang sempit, diapit gedung-gedung tinggi.