Tenggelam
CERPEN NEVATUHELLA
Selanjutnya ia mengingat keberangkatannya ke langit. Waktu itu orang-orang akan membunuhnya karena menuduh sudah terlalu durhaka kepada Tuhan.
Makrun bertahan dengan pendapat, “Tidak, sesungguhnya Tuhan penuh kasih sayang. kalianlah yang durhaka!”
Bahkan pernah pada suatu kali, entah atas usul siapa, Makrun direkayasa menjadi seorang teroris. Tapi polisi yang menembaknya entah mengapa pingsan sebelum menarik pelatuk pistol.
Orang-orang marah besar dikatakan durhaka. Banyak yang bersiap akan menembaknya dengan senjata laras panjang. Puluhan orang sudah siap dengan senjata terkokang.
“Pergilah kau Makrun, temuilah Tuhanmu yang pengasih dan penyayang!” Inilah perkataan terakhir yang didengarnya.
Sebulan terakhir ia hanya hidup sendiri di atas tanah reruntuhan negerinya. Ia hanya makan ikan mentah yang didapatnya di dekat paya.
Siang hari di kala terik menyengat ia menenggelamkan diri di paya tempat ikan-ikan hidup. Hanya ada satu paya yang ditemuinya.
Ketika malam hari ia tergeletak di mana saja. Rumah baginya sudah tak berguna lagi. Semua sudah tenggelam. ***
Nevatuhella, alumnus Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara, Medan. Buku ceritanya yang telah terbit Perjuangan Menuju Langit (2016), Bersampan ke Hulu (2018) dan satu buku puisi Bila Khamsin Berhembus (2019).
Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Karya belum pernah tayang di media mana pun baik cetak, online, juga buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.