Lika-liku Sampah di Jakarta hingga Peluang Revisi Perda

JAKARTA — Rini Novianti, seorang ibu rumah tangga, merasa kebingungan saat hendak membersihkan rumahnya di pagi hari. Ia mengetahui bahwa limbah rumah tangga ada yang bersifat organik dan non-organik. Meski begitu, ia tidak mengetahui bagaimana cara memilah sampah dengan benar.

“Secara sederhana saya hanya memilah antara sampah yang bersifat basah dengan kering, berbahan plastik, botol-botol kaca, dan elektronik seperti baterai. Tetapi di rumah hanya ada satu tempat sampah besar yang pada akhirnya semua limbah itu bercampur menjadi satu,” keluh Rini.

Senada dengan Rini, Siska seorang pekerja swasta juga merasakan hal serupa. “Saya tinggal di rumah kontrakan bersama teman-teman yang lumayan peduli akan lingkungan. Kami sering memilah jenis-jenis sampah sesuai karakternya namun memang butuh perhatian lebih untuk memiliki lebih dari satu tempat sampah di rumah,” kata Siska.

Kesadaran untuk mengelola sampah rumah tangga menjadi penting dewasa ini. Lebih jauh lagi, pengelolaan sampah merupakan permasalahan lingkungan yang seolah enggan beranjak dari ibukota.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengatakan, warga Jakarta memproduksi sampah hingga 8000 ton per hari.

“Sampah ibukota masih harus dibuang ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang yang diprediksi hanya bisa bertahan hingga tahun 2021,” kata Gubernur Anies.

Berbagai kebijakan ditelurkan untuk mengatasi masalah sampah, salah satunya menghadirkan alternatif selain TPST Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Pada akhir tahun 2018 silam, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui PT Jakarta Propertindo (Jakpro) meluncurkan program Intermediate Treatment Facility (ITF) di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Proyek ini diklaim dapat menghemat anggaran sampah mencapai Rp115.526 per ton. Selain Sunter, rencananya Pemprov DKI akan membangun tiga proyek ITF di lokasi lain.

Lihat juga...