AMAN Jamini mencengkeram pundak Markus, lalu menepuk-nepuknya untuk beberapa saat. Markus terbatuk-batuk kecil, tapi wajahnya menyiratkan kelegaan yang paripurna.
Setelah bertahan dengan tongkat dan kaki gemetaran dalam jalanan becek selama satu jam, sebuah pompong (sampan/perahu bermotor) menunggu di tepian Sungai Rereiket.
Aman Jamini—bersama Manai, anak perempuan Markus—telah membawa pompong itu dari sebuah dusun yang jauh di hulu. Mereka datang untuk menjemput Markus dan orang-orang yang menyertainya.
“Kau memang kuat, Markus,” ujar Aman Jamini. “Kita akan segera bertemu dalam pabetei: ritual pengobatan dalam tradisi Mentawai yang dilakukan oleh sikerei atau tabib melalui upacara penyembuhan.”
”Setelah semuanya naik, Aman Jamini pun menyalakan mesin. Badan pompong bergetar dan mulai bergerak mengarungi Sungai Rereiket. Sampan berperawakan kurus dan memanjang itu hanya bisa menampung enam orang, sehingga dua orang dalam rombongan itu harus ditinggalkan.
Dua orang itu akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Dusun Ugai di hulu.
“Ilau, di mana kita akan bertemu?” tanya seorang laki-laki bertopi rimba. Laki-laki itu tampak khawatir dan agak canggung seolah-olah belum terbiasa dengan semua hal yang ada di sekitarnya.
“Setelah pompong berhenti, ikuti saja perempuan itu,” jawab Ilau, salah seorang laki-laki yang terpaksa ditinggalkan itu. “Kami masih keluarga dekat.”
Laki-laki bertopi rimba itu tampak masih ingin menanyakan sesuatu, tapi pompong semakin menjauh meninggalkan kawan seperjalanannya. Ketika pompong melambat di kelokan pertama, laki-laki bertopi rimba itu menoleh ke belakang.