Sepanjang Sungai Rereiket

CERPEN TJAK S. PARLAN

Ia mengangguk dan mencoba tersenyum kepada seorang perempuan muda yang duduk tepat di belakangnya. Perempuan muda itu membalasnya dengan sebuah sapaan ramah.

“Baru pertama ke sini?” tanya perempuan muda itu.

“Saya bersama Ilau,” jawab laki-laki bertopi rimba. “Benar, ini yang pertama kalinya. Naik sampan seperti ini.”

“Pompong!” sela perempuan itu. “Ini pompong namanya.”

Laki-laki bertopi rimba itu mengangguk-angguk kecil untuk beberapa saat, lalu mulai memperhatikan sekitar. Sampan panjang bermotor itu melaju di permukaan air sungai yang berwarna khaki (warna antara kuning dan cokelat) tua.

Laki-laki bertopi rimba itu tergoda untuk menyentuhkan tangannya ke air yang menyembur-nyembur di kiri-kanan badan pompong. Semakin laju pompong itu, semakin deras dan tinggi pula semburan airnya.

Adakalanya air juga memercik ke wajahnya dan membasahi kacamatanya sehingga membuat pandangan matanya kabur dalam beberapa saat. Jika sudah begitu, ia akan melepas kacamatanya, lalu mengelap kacamata itu dengan ujung hem flanel yang dikenakannya sebelum kemudian kembali memakai kacamatanya.

Selang berikutnya, ia akan kembali mengedarkan pandangannya—seolah-olah tidak ingin melewatkan apa pun.

Di sepanjang bantaran, sungai itu dijaga oleh aneka tumbuhan yang subur; gerumbul-gerumbul bambu, rumput-rumput gelagah, ladang-ladang talas; pohon-pohon nyiur, pohon-pohon waru; sesekali pohon durian, pohon pinang, pohon pisang, pohon cengkih,  dan lebih banyak lagi pohon sagu.

Pada bagian tertentu di sepanjang aliran sungai, bangkai-bangkai kayu –tunggul-tunggul, batang-batang, dan ranting-ranting mati–berkelompok-kelompok menyusun keterbengkalaiannya sendiri.

Lihat juga...