Bangkai-bangkai kayu itu membuat pompong harus meliuk-liuk, memilih celah yang lebih aman di antaranya agar tidak terjadi tabrakan.
“Sepertinya belum lama banjir, ya?” celetuk laki-laki bertopi rimba.
Abdurahman, si pemegang dayung—sekaligus pemberi aba-aba—yang duduk nyaris di ujung pompong di depan laki-laki bertopi rimba itu, memutar badan sedikit ke belakang.
“Banjir musiman. Tapi tidak sebesar tahun lalu,” ujar Abdurahman seraya menawarkan sesuatu.
Laki-laki bertopi rimba itu berterima kasih lalu mengambil dua butir manisan dari telapak tangan Abdurahman.
“Tidak merokok?”
Laki-laki bertopi rimba itu menggeleng.
“Di kampung kami, semua orang merokok,” jelas Abdurahman. “Saya berhenti merokok setelah pulang dari Palembang.”
“Oh,” tanggap laki-laki bertopi rimba, “Ke sana untuk berobat, ya?”
“Bukan! Saya belajar agama.”
Laki-laki bertopi rimba itu mengernyitkan dahi. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Yang di belakang itu kakak saya, Markus,” Abdurrahman sedikit berbisik. “Kami baru mengantarkannya berobat ke rumah sakit di kota. Hampir seminggu di pulau sebelah.”
“Sakit apa?”
“Penyakit dalam.”
“Oh, dia sepertinya kuat. Saya melihatnya sejak di kapal.”
Abdurrahman menggeleng lemah. “Kami akan mengundang sikerei (seseorang yang memiliki kemampuan istimewa sebagai penyembuh/tabib, atau sebagai pemimpin dalam upacara-upacara adat) untuk mengusir roh jahat dari dalam tubuhnya.”
“Nah, boleh saya melihatnya?” Laki-laki bertopi rimba itu tampak antusias.
“Besok malam, datanglah! Sudah banyak yang melihat ritual pabetei.”
“Ya, ya… Ilau pernah bercerita pada saya.”
“Wartawan?” tanya Abdurrahman.