Sumur Bor Dalam Dinilai Paling Tepat Atasi Kekeringan di Gunung Kidul

Editor: Koko Triarko

YOGYAKARTA – Persoalan kekeringan selalu menjadi momok paling menakutkan bagi sebagian besar warga di Kabupaten Gunung Kidul. Minimnya ketersediaan air bersih sebagai sumber daya utama penyokong kehidupan sehari-hari, menjadi masalah laten yang sulit dipecahkan, dan harus dihadapi secara berulang setiap tahun, khususnya saat musim kemarau tiba. 

Faktor geografis dinilai menjadi penyebab utama persoalan kekeringan di bumi Handayani yang memiliki luas 1.485,36 kilometer persegi ini. Bentang alam berupa kawasan karst, atau perbukitan kapur dengan tingkat porositas yang tinggi, mengakibatkan air tidak bisa tertahan di permukaan. Hal inilah yang mengakibatkan kabupaten berpenduduk sekitar 729.364 jiwa ini sering dianggap sebagai daerah minus, sehingga banyak warganya memilih merantau ke daerah lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Memasuki puncak musim kemarau pertengahan Agustus 2019 ini, BPBD DIY mencatat, ada 14 dari total 18 kecamatan di Gunung Kidul mengalami kesulitan air bersih. Yakni, kecamatan Girisubo, Paliyan, Purwosari, Rongkop, Tepus, Ponjong, Semin, Patuk, Semanu, Panggang, Gedangsari, Tanjungsari, Nglipar dan Ngawen.

Sekretaris Desa Jurang Jero, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul, Aris Wijayadi. -Foto: Jatmika H Kuismargana

Jumlah itu meliputi 78 desa dan 421 dusun. Wilayah terdampak kekeringan di Gunung Kidul ini menjadi yang terparah dibandingkan 4 kabupaten/kota lainnya yang ada di DIY.

Sejak awal musim kemarau Mei lalu, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul sebenarnya sudah menetapkan status darurat bencana kekeringan. Hal itu berdasarkan Keputusan Bupati No:153/KPTS/2019,  tertanggal 9 Mei 2019, tentang Penetapan Status Siaga Darurat Kekeringan. Status ini ditetapkan hingga 31 Oktober 2019.

Lihat juga...