Sumur Bor Dalam Dinilai Paling Tepat Atasi Kekeringan di Gunung Kidul

Editor: Koko Triarko

Berdasarkan keputusan itulah, pemerintahan melalui instansi terkait melakukan upaya penanggulangan kekeringan dengan memaksimalkan bantuan dropping air bersih. Hingga 22 Juli, BPBD Gunung Kidul mencatat sudah ada sekitar 1.460 tangki air disalurkan ke berbagai wilayah, termasuk bantuan donatur dan juga swasta sebanyak 180 tangki.

Meski begitu, salah seorang warga terdampak kekeringan, Rubiman (40), warga dusun Purworejo, desa Jurang Jero, kecamatan Ngawen, menyebut bantuan dropping air bersih tidak bisa selalu diandalkan warga, dan bukan merupakan solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah kekeringan di Gunung Kidul.

Pada puncak musim kemarau tahun lalu, ia mengaku harus bolak-balik mengangkut air yang berjarak sekitar 1 kilometer  dari rumahnya setiap hari. Hal itu karena sumur-sumur dangkal milik warga telah lama mengering, sementara PAM Dusun yang memanfaatkan sumur bor dalam, sudah lama rusak dan tidak berfungsi.

Tidak adanya bantuan dropping air bersih membuatnya harus mengambil air di sebuah sumber mata air yang berlokasi di lain desa. Memakai jerigen yang dimasukkan dalam keronjot (bronjong), sekali angkut Rubiman mengaku hanya mampu membawa air sebanyak 2-3 jerigen dengan mengendarai sepeda motor.

Biasanya, dalam sehari ia harus mengangkut air hingga 3 kali. Sehingga dalam sehari, ia bisa mengumpulkan 12 jerigen. Air itu harus ia kumpulkan untuk memenuhi keperluan rumah tangga sehari-hari keluarganya yang berjumlah 7 orang, yang terdiri dari seorang istri, 3 orang anak serta 2 orang tuanya yang telah jompo.

“Kalau menunggu bantuan dropping air bersih jelas tidak akan sempat. Sementara jika harus membeli, harganya cukup mahal. Satu tangki berisi sekitar 5.000 liter, bisa mencapai Rp150-200.000,” katanya.

Lihat juga...