62 Peserta Ikuti Ruwatan Massal di Museum Pusaka TMII

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

Jadi jelas Ki Slamet Hadisantoso, wayang kulit ruwatan ‘Murwakala’ ini berkisah tentang inti dari kehidupan manusia yang disebut sebagai kawruh sejatining urip.

“Ruwatan ini tradisi Jawa, diharapkan para sukerto dalam berhubungan kehidupan manusia harus diikat dengan aturan agama, adat istiadat dan negara,” ujarnya.

Ritual ruwatan merupakan tradisi yang masih dilestarikan masyarakat Jawa. Ritual ini sebagai tradisi pembebasan dan penyucian manusia atas dosa atau kesalahannya yang berdampak kesialan di dalam hidup.

Adapun manusia yang digolongkan sukerto, di antaranya anak ontang-anting (anak satu) dan anak gedhono-gedhini atau sepasang anak dalam keluarga, lelaki dan perempuan.

Juga dianggap sukerto, adalah tiga anak dalam keluarga yang jenis kelaminnya diapit. Yakni, jika ketiga anak itu urutannya lelaki-perempuan-lelaki itu disebut sendang diapit pancuran atau mata air diapit pancuran.

Sedangkan jika urutan anak itu perempuan-lelaki-perempuan disebut pancuran diapit sendang.

“Anak-anak sukerto seperti itu, dalam tradisi Jawa, sebaiknya diruwat melalui pagelaran wayang kulit dengan cerita Murwakala. Ruwatan ini sangat sakral penuh tuntutan dan tatanan,” ujar Ki Slamet Hadisantoso kepada Cendana News.

Setelah pagelaran wayang kulit selesai, tiba saatnya para sukerto untuk menjalani prosesi pemotongan rambut dan siraman.

Satu-persatu para sukerto melakukan siraman ini. Rambut mereka pun dipotong oleh Ki Slamet Hadisantoso. Lalu mereka pun disiram dengan hamburan air bertabur bunga melati.

Disya, salah satu sukerto sedang melakukan siraman oleh dalang Ki Slamet Hadisantoso pada ruwatan massal di pelataran Museum Pusaka TMII, Jakarta, Sabtu (7/9/2019). Foto: Sri Sugiarti.
Lihat juga...