Stigmatisasi HTI Bisa Menyebabkan Disintegrasi Bangsa
OLEH ABDUL ROHMAN
PAHAM Khilafah versi HTI (Hisbut Tahrir Indonesia) memang dilarang di Indonesia. Indonesia memiliki sistem kepemimpinan (khilafah) model sendiri, Pancasila.
Bukan sistem kepemimpian yang dikonsepsikan HTI, sebagaimana konsepsi kepemimpian mirip otoritas Kepausan. Islam mengenal ijtihad. Jadi tidak ada otoritas tunggal dalam menafsirkan kebenaran agama maupun dalam menentukan boleh tidaknya gerak-gerik setiap orang sebagaimana sistem kepausan.
Maka lahir banyak mujtahid di kalangan Muslim. Orang-orang dengan kualifikasi tertentu yang pandangan keagamannya sebagai rujukan.
Jumhur (kebanyakan) ulama menyandarkan tafsir keagamaan mengikuti 4 Imam Madzhab: Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Hanafi.
Sistem kepemimpinan di Indonesia dirangkum dalam Pancasila. Bahwa peradaban yang hendak dibangun dan harus diwujudkan adalah peradaban bangsa ber-Tuhan. Secara tegas sila pertama dirumuskan sebagai “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal itu mengamanatkan bangsa ini untuk mewujudkan diri sebagai bangsa ber Tuhan.
Sebagai konsekuensi bangsa ber-Tuhan, yang tidak membenarkan “ketundukan selain kepada Tuhan, Hukum Tuhan dan perjanjian kontraktual antarsesama yang tidak melanggar jiwa hukum Tuhan”.
Sila kedua Pancasila mengamanatkan tegaknya keadilan dan perlindungan terhadap harkat martabat kemanusiaan. Jadi peradaban yang diamanatkan hendak diwujudkan di Indonesia adalah pranata atau peradaban bangsa ber-Tuhan, yang melindungi keadilan dan harkat martabat kemanusiaan semua warganya.
Bahkan (dalam pergaulan internasional) sebisa mungkin turut mewujudkan peradaban yang damai dan berkeadilan sosial. Peradaban bangsa ber-Tuhan itu diwujudkan di semua wilayah NKRI. Maka diperlukaan kesatuan segenap bangsa untuk menjaga keselamatan wilayah sebagai tempat persemaian peradaban bangsa ber-Tuhan dan sebagai wilayah melindungi keadilan serta harkat martabat kemanusian (sila ke-3).