Indonesia Harus Dorong Pengetahuan Kaum Difabel dengan Teknologi

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

JAKARTA – Keterbatasan fasilitas dan pelayanan pada kaum difabel dianggap belum digarap secara serius di Indonesia. Selain karena belum berkembangnya penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran di Indonesia juga karena adanya pemahaman di masyarakat bahwa kaum difabel ini tidak mampu.

Kepala Pusat Studi Astronomi Universitas Ahmad Dahlan, Yudhyakto Pramudya, PhD. menyebutkan dengan berkembangnya teknologi, kaum difabel memiliki kemampuan untuk mempelajari astronomi sama besarnya dengan kaum non difabel.

“Dengan memanfaatkan teknologi, para difabel ini seharusnya bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengakses ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, tentunya terkait dengan astronomi,” kata Yudhy saat ditemui usai acara FGD di Planetarium dan Observatorium Jakarta, Sabtu (19/10/2019).

Diakui oleh Yudhy, dari Planetarium dan pusat sains yang pernah dikunjungi olehnya, fasilitas dan pelayanan pada kaum difabel memang belum sepenuhnya terpenuhi.

“Perlu dicatat, bahwa difabel ini banyak jenisnya. Ada yang terlihat dan ada yang tidak. Kalau seperti tuna rungu atau tuna netra, mungkin kita bisa bicara tentang infrastruktur. Tapi kalau sudah bicara tentang autis misalnya, maka yang dibutuhkan bukan hanya infrastruktur tapi juga kesiapan dari SDM-nya,” papar Yudhy.

Ia menjelaskan untuk kaum difabel seperti autis, selain infrastruktur, dibutuhkan pemandu dan fasilitas yang memahami terkait perilaku dan pemicu tantrum anak autis.

“Saya pernah ketemu kasus, orang tua yang memiliki anak autis yang datang ke pusat sains. Saat disana, entah mengapa terjadi tantrum pada anaknya. Para pemandu tidak mengerti, sehingga anak tersebut dibawa pulang. Orang kan hanya melihat anak mempunyai perilaku aneh. Tapi tidak memahami, mengapa perilakunya seperti itu. Akhirnya, gagallah anak autis itu untuk datang ke pusat sains,” ucap Yudhy.

Lihat juga...