Keluarga Umak
CERPEN NURILLAH ACHMAD
JIKA keluarga ibarat sepeda, maka Umak tak hanya beralih wujud jadi mesin berpelumas oli. Ia menjelma setir, rem, kopling, dan tentu pengemudi itu sendiri.
Saban pagi, Umak berjibaku dengan tungku berbara api. Menanak nasi barangkali rutinitas harian, tetapi bagi Umak, memasak apa yang hendak dimakan hari ini adalah gumpalan lava yang sanggup memecah kapan saja.
Uwak –lelaki tua berwajah tak karuan itu- memiliki hobi mencak-mencak. Tak pagi tak malam seperti cacing kepanasan. Kopi terlalu pahit lha, lauk tak ada ikan, selalu jadi musabab pertengkaran berulang-ulang.
“Tulikah engkau, Rahma? Bertahun-tahun kita kawin, tak hapalkah engkau kalau aku tak suka kopi pahit?”
“Engkau yang tak tahu diri, Sa’di. Tak pernah beri nafkah, seharian tak di rumah malah minta macam-macam. Butakah matamu itu, ha?”
“Kau ini istriku, Rahma. Haram melawan suami.”
“Aku tak melawan. Aku minta apa yang harusnya jadi kewajiban.”
“Dasar istri durhaka. Mau aku racun?”
Ini adalah adegan di mana aku bisa memastikan jika sebentar lagi Umak bakal sesenggukan di sudut dapur sedangkan Uwak membanting pintu keras-keras. Mengambil ayam jagonya di kandang, memandikannya di tepi sungai.
Begitulah rutinitas harian ini. Rasa-rasanya, saat aku baru mengenal dunia, keduanya telah mengajariku bagaimana cara mengadu kata-kata yang sanggup menciutkan sesiapa yang mendengar.
Jika Umak berwujud mesin, maka aku tak ubahnya roda sepeda yang pasrah mengarah ke mana saja. Apa kata pengemudi, apa kata setir yang secara tak langsung mengarahkan kaki hendak ke mana tujuan menanti.
Biasanya, lepas saling bersitegang itu, Umak menyuruhku sekolah. Padahal hari masih didekap kabut. Banyak orang berselimut. Umak tak mau tahu. Katanya, orang sukses diawali bersekolah pagi.