1946

CERPEN WAHYU INDRO SASONGKO

CEMAS menggurat wajah Ningsih dengan jelas, ketika melihat asap hitam membumbung tinggi di atas langit Kepatihan. Dengan tergesa, ia bereskan barang-barang dan mengemasi semua pakaian.

Ia seperti melakukan hal yang sama, saat dirinya dulu terusir dari rumah, dibuang dari garis keluarga, karena menolak keinginan Romo menjodohkannya dengan anak seorang Bendara.

Otak Ningsih masih jelas merekam bagaimana kejadian malam itu. Jawaban penolakan yang keluar dari mulutnya benar-benar membuat Romo naik pitam. Ningsih tak menyangka, ia dianggap telah membuat malu nama keluarga, dan mencoreng wajah Romo di depan calon besannya.

Ia menghela napas panjang. Pagi itu, ketakutan tak hanya menghantui perasaan Ningsih, tetapi juga masa depan anaknya. Pikiran Ningsih melayang, teringat pada Klerk, laki-laki Belanda yang berhasil menjerat hatinya.

Tapi, bukan soal cinta saja. Ningsih juga merasa, ia berbeda dari saudara-saudaranya. Telinganya lebih mengakrabi Chopin daripada alunan gendhing. Tubuhnya lebih mencintai gerakan dansa, daripada tarian Jawa.

Namun, Klerk meninggalkan dirinya dan Hayu, anak semata wayang mereka. Sebelum pergi, laki-laki itu mengatakan, ia harus pulang ke negerinya dan meninggalkan sebuah janji.

Klerk beralasan, jika masih berada di Sala, ia bisa kehilangan nyawa. Dan dengan terpaksa, Ningsih harus rela melepas kepergian Klerk bersama rasa getir di hatinya. Bagi Ningsih, revolusi datang serupa badai besar yang meluluhlantakkan semua mimpi, cinta, dan mungkin juga harapannya.

Kejadian yang menjungkirbalikkan kehidupan. Perubahan yang membuat hati Ningsih menjadi penuh kebencian.

Lihat juga...