Pelestarian Lingkungan di Papua Butuh Keterlibatan Semua Pihak
JAYAPURA — Pelestarian lingkungan alam di Papua membutuhkan keterlibatan semua pihak dengan pendekatan budaya, termasuk untuk menyelamatkan hutan di daerah itu, kata Pembantu Rektor III Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura Jhonathan Kiwasi Waromi.
“Saat hutan rusak bukan hanya pohon yang hilang atau banjir, tapi juga proses interaksi lingkungan dan aspek sosial, budaya. Ini cukup complicated,” katanya dalam jumpa wicara bertajuk “Ekologi Papua dan Krisis Iklim” dalam rangkaian acara School of Eco Diplomacy (SED) tingkat dasar di Kota Jayapura, Rabu (13/11/2019).
SED terselenggara atas kerja sama Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Kehutanan, Universitas Cendrawasih, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Forum Komunitas Jayapura-Rumah Bakau Jayapura, serta Yayasan EcoNusa.
Hadir dalam acara tersebut Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kota Jayapura Yohanes Sugeng Huik, Kasubag Evaluasi Pelaporan Data dan Hubungan Masyarakat, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Paulus Baibaba, Pembantu Rektor III Universitas Cendrawasih Jhonathan Wororomi, Dosen Prodi Pendidikan Geografi Universitas Cenderawasih Yehuda Hamokwarong, dan warga Kampung Sereh, Sentani, Yesaya Eluay.
“Untuk mengatasi hal ini, pendekatan budaya menjadi salah satu jawaban yang dapat diterapkan dan diterima masyarakat di Tanah Papua,” kata Jonathan.
Yesaya Eluay mengambil contoh Cagar Alam Cycloops yang rusak akibat aktivitas perkebunan. Masyarakat berkebun pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut.
Menurut dia, banyak pohon besar telah tumbang, diganti perkebunan masyarakat. Hal itu, katanya, juga berdampak pada sumber mata air. Dari 124 mata air kini hanya tersisa lima mata air yang masih mengalir.