Pelestarian Lingkungan di Papua Butuh Keterlibatan Semua Pihak
“Cycloops dulu dingin sekali. Embunnya tebal dan baju basah. Masuk ke dalam pakai senter kalau pagi hari (pukul 04.00 WIT) tapi sekarang sudah terang. Pohon besar dan kami takut-takut. Sekarang sudah tidak ada. Cycloops juga sudah longsor seperti itu. Banjir kemarin rumah saya kena dan dua anak tewas. Saya kalau bicara cagar alam saja sedih,” kata dia.
Yehuda Hamokwarong menyayangkan sikap pemerintah yang memberikan izin pemukiman di bantaran sungai. Dengan begitu, lanjut dia, pemerintah tak mengindahkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Pemukiman tersebut sejatinya dapat mengancam keselamatan warga, seperti saat terjadinya banjir bandang dan longsor di Pegunungan Cyloops.
“Dari korban banjir kemarin, yang paling banyak adalah penduduk yang berada di bantaran sungai. Ini tentu saja dapat membahayakan. Saat ini RTRW tengah ditinjau kembali oleh pemerintah,” kata dia
Kerja sama antarsuku juga dapat meringankan upaya konservasi. Terkait dengan hal ini, Paulus Baibaba mengatakan, Cagar Alam Pegunungan Cycloops didiami lima suku berbeda.
“Perbedaan adat dan etika pada pemegang hak ulayat perlu dipahami oleh pemerintah daerah untuk memudahkan pengelolaan cagar alam,” kata dia.
Yohanes Sugeng Huik, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kota Jayapura memandang generasi muda memiliki peran besar dalam upaya melestarikan sumber daya alam dan melindungi masyarakat.
Dia berharap, Program SED membawa perubahan kepada setiap peserta dan lingkungan sekitar. “Ketika kita mencintai alam, maka alam akan lebih mencintai kita,” ujar dia. (Ant)