Sendal-sendal bekas telah mulai langka. Dan membuat permainan dengan tengkorak manusia adalah sesuatu yang ia yakin tidak pernah ada satu orang pun yang melakukannya. Ia membayangkan dirinya akan menjadi sangat kaya dengan hasil ciptaannya.
“Angkat dah! Angkat!” perintahnya. Ia tidak sadar suaranya telah berubah.
“Jangan dulu!” Puq Banguq menolak. Ia merasa kata-kata pembuat bata ada benarnya. “Kita tidak bisa sembarangan mengangkatnya.”
“Kenapa?”
“Kita harus putuskan akan kita bawa ke mana setelah kita angkat.”
“Ke rumah saya.”
“Jangan!”
“Kenapa? Saya akan menjaganya.”
Para pembuat bata dan Puq Banguq terheran-heran mendengar kata-kata laki-laki pincang.
“Jangan! Kalau kita angkat bisa saja kampung kita akan kena musibah. Kalau kita timbun, nanti tinggal kita beritahu warga, dan mungkin kita bisa adakan roah sedikit di sini untuk meminta maaf karena kita telah mengganggu pemiliknya. Ya, sebaiknya kita timbun saja.”
Para pembuat bata mengangguk-angguk. Mereka membenarkan kata-kata Puq Banguq.
“Ya. Kita timbun saja. Itu pilihan yang terbaik,” tambah pembuat bata yang dari tadi berusaha menekan ketakutannya.
“Ya, kita timbun saja. Ayo timbun,” perintah Puq Banguq.
“Tunggu! Tunggu! Kita jangan gegabah. Menurut saya, kita angkat saja dulu. Saya siap untuk membawanya ke rumah,” bujuk laki-laki pincang.
Sekarang, laki-laki pincang tidak lagi berpikir untuk membuat mainan. Tapi ia membayangkan akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari tengkorak itu. Ia percaya itu bukan tengkorak orang sembarangan.
“Kita angkat saja. Saya tanggung jawab.”
Karena laki-laki pincang itu berkata begitu, warga pembuat bata yang masih memegang gagang cangkul sampai tangannya berkeringat merasa lega. Ketakutan yang dari tadi mencengkeramnya dan tiba-tiba melepaskan dirinya membuat tubuhnya terasa sangat ringan.