KMA Hanya Atur Besaran Tarif Layanan Sertifikasi Halal
Editor: Koko Triarko
JAKARTA – Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Sukoso, mengatakan, Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982, mengenai layanan sertifikasi halal dan peraturan perundang-undangan mengenai besaran tarif layanan sertifikasi halal, bukan berarti mengembalikan penyelenggaraan layanan sertifikasi halal ke Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“KMA ini terbit sebagai diskresi agar layanan sertifikasi halal tetap berjalan, dengan merujuk pada aturan besaran tarif yang selama ini diberlakukan oleh LPPOM MUI. Sebab, besaran tarif layanan sertifikat halal yang seharusnya dikeluarkan melalui Peraturan Kementerian Keuangan belum ditetapkan,” ujar Sukoso, di Jakarta Pusat, Jumat (6/12/2019) siang.
Menurutnya, diktum itu hanya mengatur diskresi besaran tarif layanan sertifikasi halal, sembari menunggu terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“Sebab, besaran tarif layanan sertifikat halal yang seharusnya dikeluarkan melalui Peraturan Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Dia menegaskan, Kemenag bukan tidak menjalankan amanah dari MUI yang memberikan sertifikasi halal. Pasalnya, KMA hanya mengatur saja. Sedangkan untuk tarif diserahkan ke PMK.
“Jadi, bukan berarti Kemenag mengembalikan mandat sertifikasi halal kepada MUI. KMA hanya mengatur, selama belum ada PMK tentang tarif layanan, maka biaya sertifikasi halal mengacu pada standar yang selama ini diberlakukan LPPOM,” imbuhnya.
Sukoso menjelaskan, ada tiga pihak utama yang berperan dalam layanan sertifikasi halal. Di antaranya, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), MUI dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
“LPPOM MUI hanyalah salah satu dari LPH. Layanan sertifikasi itu sendiri mencakup pengajuan permohonan sertifikasi halal, pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk, pengkajian ilmiah terhadap hasil pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk, pelaksanaan sidang fatwa halal, dan penerbitan sertifikasi halal,” jelasnya.