Permintaan Tenggok Berbahan Bambu di Lamsel, Meningkat
Editor: Koko Triarko
Pembuatan anyaman bambu untuk tenggok dan cekeng, menurutnya menjadi warisan usaha keluarga. Sebagian besar keluarganya bisa membuat wadah cekeng, tenggok, serta anyaman lain berbahan bambu. Menggunakan bahan bambu tali, semua anyaman bisa dikerjakan dengan cepat, setelah semua bahan disiapkan melalui proses penyerutan.
“Bahan bambu yang sudah diserut atau dibelah tipis, bisa digunakan untuk pembuatan tenggok, cekeng dan anyaman lain,” papar Sugio.
Hasil produksi anyaman bambu berbentuk kalo, cekeng, tenggok, kata Sugio, dijual dengan harga bervariasi. Cekeng ukuran kecil yang kerap digunakan untuk wadah ikan teri dan asin dijual seharga Rp4.000 per buah. Jenis tenggok ukuran besar dan kalo dijual Rp35.000 hingga Rp50.000 per buah. Pesanan dalam jumlah banyak akan mendapat diskon harga.
Januri, produsen teri dan ikan asin rebus di Desa Maja, Kecamatan Kalianda, mengungkapkan cekeng dan tenggok sangat dibutuhkan saat pengolahan hingga penjemuran. Cekeng dari bambu menjadi wadah untuk merebus teri dan bahan ikan asin.
Cekeng kerap cepat mengalami kerusakan, karena harus ikut direbus dalam kotak perebusan. Masa pakai cekeng maksimal enam bulan, membuat ia harus mengganti wadah yang rusak secara berkala.
“Penggantian dilakukan setiap ada kerusakan ratusan buah cekeng, agar produksi bisa berjalan dengan baik,” ungkap Januri.
Kebutuhan cekeng bambu, menurut Januri rata-rata mencapai 400 hingga 500 buah. Setiap setengah tahun sekali, ia mengganti minimal 100 buah cekeng dan tenggok. Saat produksi ikan teri meningkat, Januri menyebut penggunaan cekeng akan ikut meningkat. Khusus untuk wadah tenggok, digunakan untuk proses penyortiran ikan asin dan teri rebus yang sudah kering.