Sinterklas
CERPEN EDY FIRMANSYAH
BEGITU bangun tidur, Ladrak mendapati Sinterklas melompat keluar dari tubuhnya. Laki-laki paruh baya tambun bermantel merah dan berjanggut lebat seperti janggut Bakunin berbaring santai di lantai.
Berkali-kali Ladrak mengucek matanya khawatir efek air rebusan pembalut yang ditenggaknya semalam masih membuatnya teler. Tetapi ketika seekor kurcaci kecil bernama Lars keluar dari kantong mantel Sinterklas dan Sinterklas bersuara: ho…ho…ho…Ladrak yakin itu Sinterklas asli.
Bukan Sinterklas jadi-jadian yang sering ia lihat di mall yang kerap terkantuk-kantuk di pintu masuk pusat perbelanjaan saat malam kian meninggi.
“Ladrak… bangun, sudah siang!” terdengar teriakan ibunya dari dapur. Gang depan rumah mulai riuh suara ibu-ibu membeli belanjaan. Deru suara motor orang-orang berangkat kerja memekakkan telinga. Bising suara anak kecil bermain dolip menambah kumuh suasana pagi. Suasana rutin di perkampungan miskin pinggir kali Kamoning.
“Ladrak…bangun, pemalas. Nanti terlambat!” ibunya menyalak lagi. Dengan sedikit rasa malas Ladrak menggeliat. Sebelum beranjak ke kamar mandi, Ladrak mendorong Sinterklas yang tertidur pulas itu ke kolong ranjang.
Matahari telah meninggi. Lidah apinya menjilat-jilat bumi. Kepenatan sekolah akan kembali menyiksa Ladrak. Setelah itu kuku-kuku polusi akan mencakar pernapasannya saat menjajakan koran di lampu merah.
Sejak bapaknya meninggal, Ladrak ikut membantu ibunya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kadang menjual koran, kadang mencuci piring di warung Mak Inah di pinggir jalan di dekat kali Kamoning. Hidup memang keras. Tak ada kata berhenti demi sesuap nasi.