Sinterklas
CERPEN EDY FIRMANSYAH
Malam harinya, di gardu, Ladrak ngelem air rebusan pembalut lagi bersama temannya. Dan dia terus mengoceh tentang Sinterklas.
“Nanti di malam Natal aku akan minta pada Sinterklas agar bapakku hidup lagi,” teman-temannya ngakak sambil menggebrak bangku gardu.
“Kenapa tidak sekalian minta bapakmu jadi presiden, Ladrak?” temannya yang juga mabuk mencoba bertanya.
“Tidak. Jadi petugas pemadam kebakaran saja sudah cukup,” balas Ladrak.
“Kamu mabuk, Ladrak!” seloroh teman-temannya.
Ladrak berdiri dari duduknya. “Kalau tak percaya lihat saja ke rumah.”
Ladrak kemudian berjalan terhuyung-huyung. Berkali-kali jatuh. Teman-temannya tertawa. Sehingga salah seorang teman mabuknya terpaksa memapahnya hingga ke pintu rumahnya. Ibunya belum pulang. Sejak bapaknya meninggal ibu Ladrak selalu pulang dini hari.
Di kamar, Ladrak berbaring di samping Sinterklas. Memejamkan mata saja. Tapi tak bisa terlelap.
“Mabuk lagi, Ladrak?” tanya Sinterklas.
“Bukan urusanmu!”
“Apa yang bisa kubantu untuk mengakhiri penderitaanmu ini, Ladrak?”
“Hidupkan lagi bapakku.”
“Itu di luar kemampuanku, Ladrak!”
“Berarti kamu memang tak punya kemampuan. Percuma kau ada di sini.”
Lars mendadak keluar dari kantong Sinterklas. Merayap pelan ke telinga Sinterklas dan berbisik, “Dia menyepelekanmu. Lihat! Dia menjawabmu dengan mata tertutup.” Mendengar itu Sinterklas tertawa. Kemudian berbisik pada Lars, si peri.
“Dia akan belajar, Lars. Kau juga. Dia akan bisa mandiri. Lagi pula setiap makna dari peliknya kehidupan hanya bisa dilihat dengan mata terpejam.”
Lantas segalanya gelap. Gelap.
***
LADRAK benar-benar tak percaya apa yang dilihatnya ketika matanya terbuka. Sebuah taman bunga yang indah terbentang di hadapannya.