Nyai Sima

CERPEN M. ARIF BUDIMAN

PEREMPUAN muda itu datang bersama kabut senja. Dengan segenggam sesal, sekeranjang amarah, dan seikat dendam, ia melangkahkan kaki menapaki ratusan anak tangga.

Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai diterpa angin kemarau kering. Dengan tekad bulat, perempuan itu menemui Nyai Sima. Diketuknya gubuk di bawah pohon angsana besar di puncak Bukit Patiayam.

Perempuan muda itu datang tak sekadar untuk bertemu dengan kawan lamanya, tetapi ia juga ingin mengadu. Puluhan kata penyesalan berulang kali meluncur dari bibir merahnya.

Ia tampak terpukul. Hatinya serasa tersayat sembilu. Butiran air mata mengucur deras dari kelopak matanya yang sayu.

“Saya menyesal, Nyai. Saya tak mendengar kata-kata Nyai.”

Nyai Sima hanya terkekeh, lalu terbatuk. Sebab kerongkongannya tersendat sisa ubi jalar yang terselip diantara gigi-giginya yang merah kekuningan. Sementara perempuan muda terdiam.

Nyalinya menciut seketika. Ia lantas mendekat pada kawannya itu. Sembari berlutut, digenggamnya erat-erat kaki Nyai Sima yang mulai keriput termakan usia.

Ia lantas mengoceh tak karuan. Mengumpat lelaki berkumis tipis yang telah membuatnya terpedaya. Padahal dulu ia sadari betul, bahwa lelaki itu telah memiliki seorang istri dan dua orang anak. Namun dengan iming-iming akan diberi kesenangan yang berlimpah, akhirnya ia pun luluh juga.

Perempuan muda kembali sesenggukan. Ia menangis tetapi tak lagi mengeluarkan air mata. Ia kembali menyerocos. Ia menyesal telah melepas semua susuk yang dulu pernah ia pakai.

Ia menyesal telah memakan hampir setundun pisang emas yang sesungguhnya menjadi pantangan.
Nyai Sima masih sesekali terkekeh. Berulang kali ia ludahkan sirih-pinang yang ia kunyah. Dan memandang perempuan muda dengan sorot mata tajam.

Lihat juga...