Tangan Tanpa Jari
CERPEN ANGGORO KASIH
AKU melepas cincin yang sudah melingkar di jari manisku selama delapan bulan dan melemparnya ke lantai. Cincin emas simbol keabadian yang terukir nama Abirama itu lenyap dari mataku. Sementara aku segera bangkit dan meninggalkan Abirama dan makan malam kami yang masih hangat.
***
DARI atas helikopter yang kunaiki, tak henti-hentinya mulutku merapal syukur atas pemandangan hijau yang terbentang indah di bawah. Aliran sungai terlihat seperti ular melata di atas permadani hijau. Di saat seperti ini aku benar-benar merasa beruntung karena telah hidup di negeri ini.
“Sebentar lagi kita sampai di lokasi,” ucap Pak Yamet yang menjadi pemandu tim kami. Banu dan Tisa membalas dengan mengacungkan ibu jari. Sementara aku yang tak punya ibu jari di tangan kananku, lebih memilih tersenyum untuk merespon ucapan Pak Yamet.
Helikopter mendarat di tanah lapang. Terlihat tiga orang lelaki bertubuh kekar berdiri di kejauhan. Di bawah terik matahari pukul satu, para lelaki itu berdiri tegap tanpa mengenakan sehelai benang pun di tubuh mereka.
Hanya ada koteka yang menutupi kemaluan para lelaki berkulit hitam itu. Aku, Banu, Tisa dan Pak Yamet mendekat. Semakin jelas terlihat sorot mata para lelaki itu begitu tajam. Apalagi ditambah dengan dua buah potongan taring babi yang menyembul dari hidung mereka.
Rerumputan terlihat pontang-panting seiring naiknya helikopter terbang meninggalkan kami. Itu juga berarti tugasku melakukan penelitian untuk pemerataan listrik di desa Karulu Lembah Baliem telah dimulai.
Dalam satu minggu ke depan, pekerjaan kami harus sudah selesai sebelum helikopter milik Pemprov itu menjemput kami kembali.