Tangan Tanpa Jari
CERPEN ANGGORO KASIH
Namun di tempat itu jugalah aku dan Abirama bertemu untuk terakhir kalinya. Dengan hati yang perihnya tak terperi, aku melepas cincin yang Abirama beri karena dia bilang telah menghamili perempuan lain.
Aku benar-benar tak menyangka lelaki yang berkata akan segera menikahiku itu berlaku demikian. Sejak malam itu pula hidupku terasa begitu berat dan muram. Namun aku bersyukur karena masih ada Tisa yang menyemangatiku.
Di saat itu pula, usai lulus kuliah, kami berdua sama-sama diterima kerja di salah satu perusahaan milik pemerintah.
Kukira dengan menghapus semua fotoku bersama Abirama, dan meninggalkan jauh-jauh tempat di mana kenanganku tercecer, akan bisa menghapus Abirama dari hidupku. Namun ternyata itu sia-sia. Setidaknya sampai malam ini aku masih melihat langit melukiskan wajah Abirama.
“Kenapa ko (kamu) memotong ko pu (punya) jari?” tanya Lita Aragay yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Dia mengira kalau aku telah kehilangan seseorang yang amat aku sayangi. Lita Aragay tidak salah.
Setelah aku menjelaskan perihal ibu jariku, Lita Aragay menjelaskan perihal dua jarinya yang dia potong saat Iki Palek.
“Memotong jari merupakan tradisi suku saat kitorang (kita) kehilangan orang yang kitong (kita) cinta. Jari kelingking ini sa (saya) potong saat sa pu mama meninggal. Sementara jari manis sa, sa potong saat sa pu suami meninggal.”
Lita Aragay juga menjelaskan kalau bagi suku Dani, memotong jari merupakan ekspresi lain untuk memaknai kesedihan. Karena bagi mereka, menangis tidaklah cukup untuk melambangkan kesedihan yang dirasakan.
Rasa sakit yang ditimbulkan dari memotong jari dianggap bisa mewakili hati dan jiwa yang tercabik-cabik karena kehilangan. Kata Lita Aragay lagi, jari merupakan bagian tubuh yang melambangkan kekuatan dan kesatuan, jika kehilangan salah satunya, maka kesatuan dan kekuatan itu tidak lagi utuh atau berkurang.