Budaya Menenun di Flores Harus Diwariskan ke Generasi Muda

“Dulu ada budaya ini sehingga seorang perempuan yang sudah bisa menenun kain dianggap sudah bisa menikah. Saya dulu pun belajar tenun dari mama saya sejak usia sekolah dasar,” terangnya.

Maria melihat zaman sekarang sudah mulai jarang dijumpai perempuan berusia 30-an tahun ke bawah yang bisa menenun kecuali satu dua perempuan saja yang tinggal di pedalaman atau di desa yang jauh dari kota.

Dia menguatirkan bila proses menenun tidak diwariskan kepada generasi muda maka suatu saat orang akan sulit membeli atau mendapatkan kain tenun ikat dari Kabupaten Sikka maupun dari wilayah lainnya di Flores.

“Harus ada semacam sekolah atau sanggar yang mengajarkan proses menenun. Bila perlu ada ekstra kurikuler menenun di sekolah ataukah dibuat peraturan desa soal ini agar kain tenun ikat bisa tetap lestari,” ujarnya.

Maria Tereja, Ketua Kelompok Tenun Mawarani di Wairklau kota Maumere, saat ditemui di sanggarnya, Minggu (2/2/2020). -Foto: Ebed de Rosary

Maria Tereja, Ketua Kelompok Mawarani di Wairklau kota Maumere menyebutkan pihaknya pun kuatir dengan regenerasi penenun di Kabupaten Sikka sendiri dimana dari 10 anggota kelompoknya semuanya berumur di atas 40 tahun.

Tereja melihat minat generasi muda untuk menenun sangat minim sehingga ia menyarankan kepada pemerintah harus melakukan intervensi dengan membentuk kelompok tenun yang berisikan anak-anak muda.

“Pemerintah harus mulai memikirkan ini sebab saat ini hampir tidak ada anak-anak muda yang mau belajar menenun. Dana desa juga bisa dipergunakan untuk membuat kelompok atau sanggar melatih para perempuan muda untuk menenun,” sarannya.

Lihat juga...