Pakar: Mencegah Perkawinan Anak Hukumnya Wajib
Editor: Makmun Hidayat
JAKARTA — Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta, Dr. Nur Rofiah Bil Uzm menyatakan hasil Kongres Ulama Perempuan Indonesia pertama yang digelar pada 2017 telah menghasilkan kesimpulan bahwa mencegah praktik perkawinan anak (usia di bawah 18 tahun) itu hukumnya wajib.
“Yang menjadi objek dalam fatwa ini bukan anak, tapi selain anak. Karena anak dalam konteks ini adalah korban. Yang melakukan kedzoliman dalam perkawinan anak mungkin orangtua, mungkin juga masyarakat atau mungkin juga negara melalui pembiaran di sana,” ungkap Nur Rofiah, Selasa (4/2/2020) di Jakarta.
Dia kemudian menjelaskan, bahwa sebab hukum tersebut akhirnya ditetapkan adalah berdasarkan integrasi pengalaman perempuan dalam konsep kemaslahatan agama.
Menurutnya ada dua jenis pengalaman perempuan yang tidak dimiliki laki-laki. Pertama dari sisi pengalaman biologis yang berkaitan dengan fungsi reproduksi. Laki-laki mungkin hanya hubungan seksual dan mimpi basah. Itu pun hanya berlangsung beberapa menit dan secara biologis cenderung menimbulkan sensasi kesenangan.
Berbeda dengan perempuan, di samping hubungan seksual, yang membahagiakan tapi juga kadang sakit apabila ada selaput yang sobek atau mungkin dari sisi mental belum siap (berhubungan). Kemudian menstruasi yang jelas sakit bahkan bisa terasa selama seminggu. Lalu hamil, nifas juga menyusui.
“Coba bayangkan kalau pengalaman biologis perempuan yang dari sananya sudah ada rasa sakit, lalu kemudian diabaikan dalam konsep kemaslahatan agama dan kebijakan negara? Kita meyakini bahwa kemaslahatan agama yang hakiki adalah yang tidak membuat pengalaman biologis perempuan ini makin sakit,” tegas Nur Rofiah.