Empat Fragmen Lembah Serayu
CERPEN MUFTI WIBOWO
SATU
“Aku akan pergi menemui Kanjeng Sultan Hadi Wijaya.” Mendengar suaminya telah membulatkan tekad, istri Jaka Kaiman tak kuasa menahan gemuruh ombak di dadanya.
Gulungan ombak menggedor-gedor dinding rusuknya yang rawan lalu tangisnya pecah. Air matanya membuat galur anak sungai sebelum bertemu Serayu.
“Kau tahu, Sayang. Negeri yang disuburkan Gunung Slamet dan Lembah Serayu ini tak boleh terlalu lama tanpa pemimpin. Atau, sosok kamiyangga (sosok mistis yang dianggap menguasai lubuk sungai) dari lubuk Serayu akan bangkit dan berkuasa menghancurkan apa yang sudah diwariskan Kiai Banyak Sasra. Sudah ada tanda-tanda geliatnya, dan itu tak boleh dibiarkan,” ujar sang suami.
Dari matanya, wanita yang sangat mencintai Jaka Kaiman itu masih belum sepenuhnya mengerti jalan pikir suaminya yang merasa harus terpanggil, mengambil tanggung jawab maha besar dan berat itu.
Dia tahu persis, undangan Sultan Hadiwijaya sarat dengan misteri. Sebab, karena titahnya pulalah ayahnya mati terbunuh. Ia tak tak ingin kehilangan untuk kedua kali orang-orang yang ia cinta dan hormati.
“Aku harus ikut bersamamu.”
Jaka Kaiman menggelengkan kepala seanggun banyak (angsa) yang berenang, menampakkan senyumnya yang paling lembut, tapi keramat.
“Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di Pajang dalam perjalanan menuju dan darinya. Tinggallah dan jaga putraku.”
“Kamu hanya akan pergi dengan sebuah pegangan wewaler setu pahing (mitos yang berkaitan dengan larangan bepergian di hari Sabtu Pahing pada masyarakat Banyumas),” kata perempuan itu, melunak.
Pembicaraan pada malam itu diakhiri dengan adegan bercinta yang penuh khidmat, sementara langit terus menurunkan rintik-rintik hujan yang siangnya menguap dari Segara Kidul.