Empat Fragmen Lembah Serayu
CERPEN MUFTI WIBOWO
Di Lembah Serayu, Jaka Kaiman membabat hutan perawan. Di sanalah, ia mendapatkan ilham untuk mendirikan pusat pemerintahannya yang baru.
Atas persetujuan Sultan Hadi Wijaya, Jaka Kaiman membagi wilayah kekuasaanya menjadi empat, sedangkan ia memimpin salah satunya. Karena itulah, ia dijuluki Adipati Mrapat.
“Kenapa kau menangis?” ujar istrinya.
“Aku haru, bahagia. Semesta merestuiku. Kau tahu, seseorang telah melaporkan sebatang kayu emas yang hanyut dari hulu menepi di dekat Kejawar ini. Aku akan menjadikannya saka guru.”
“Jangan menangis, kau kini seorang Adipati!”
“Kau sendiri kenapa menangis, padahal kau anak dan istri Warga Utama.”
EMPAT
Pasar Kejawar yang ramai sejak kehadiran saudagar-saudagar berkulit kuning pucat yang tinggal di Pecinan dibuat cemas dengan syair-syair yang diperdengarkan seorang buta selama sebulan terakhir.
Penyair buta itu sangat identik dengan Pasar Kejawar. Semua orang pasar menganggapnya bagian dari Pasar Kejawar. Sejak kapan? Entahlah, tak terlalu penting dalam cerita ini.
Lelaki paruh baya itu bersyair untuk mendapat uang dan makan. Dia tak mau disamakan sebagai pengemis. Dia selalu mengatakan sebagai murid Kiai Seca Mandra Wangsa dari lereng Gunung Slamet.
Mungkin karena keangkeran nama gurunya itulah, tak seorang pun berani mengusiknya, betapa pun ada di antara orang-orang di Pasar Kejawar itu sesungguhnya meragukan pengakuannya. Tentu saja mereka tak ingin mengambil risiko.
“Tujuh hari berturut-turut, aku bermimpi melihat ikan benter memakan manggar (bunga kelapa) yang masih menempel di tangkainya. Ini adalah pertanda dari semesta, Saudaraku.”
Semua orang di Pasar Kejawar mungkin terlihat tak acuh dengan kehadirannya, tapi orang-orang itu sangat menyukai kemerduan suara dan keindahan syairnya. Untuk itulah, mereka rela hati memberinya uang atau makanan.