Empat Fragmen Lembah Serayu

CERPEN MUFTI WIBOWO

Seseorang yang dikenal berpengaruh di Pasar Kejawar menjadikan syairnya bahan berolok-olok, “Bagaimana kau bisa membedakan ikan dengan manggar, bukankah kau buta?”

Mendengar olokan itu, lelaki buta itu hanya tersenyum. Hingga pada hari yang berbeda saat orang yang mengolok-oloknya tak ada di sana, ia berkata, “Aku hanya menerima pemberian dari orang yang mempercayai syairku. Tidak dari yang lain.”

Suara bernada sumir lain meletup entah dari siapa, “Jika kau benar, seharusnya kau sampaikan itu pada bupati atau sekutu kompeninya. Mereka pasti akan ketakutan mendengar ramalan gilamu.”

Suara itu mengundang gelak tawa banyak orang yang mendengarnya, bukan tawa mengejek, tapi sebuah sindiran kepada keadaan diri mereka sendiri.

Seiring memasuki musim penghujan yang terasa lambat datang, lelaki buta dan syairnya menghilang dari Pasar Kejawar. Orang-orang di pasar diam-diam rindu pada lelaki buta bersuara merdu dan syairnya itu.

Sebelum kepergiannya, dia pernah berpesan lewat syairnya, “Suatu hari nanti, kalian akan menyusulku ke utara, mendekat ke pelukan Slamet yang senantiasa hangat. Datanglah dengan hati yang gembira, aku akan menyambut kalian dengan bahagia.”

Berjarak tiga purnama, Saka Guru Sipanji diboyong dari Banyumas ke Purwokerto yang berada di seberang utara Serayu.

Mendekat ke Slamet untuk sebuah pelukan yang hangat setelah direndam bah dari hulu Serayu. ***

Mufti Wibowo, penulis asal Purbalingga, Jawa Tengah. Karya-karya fiksinya pernah dimuat di berbagai media cetak dan online. Ia aktif berkegiatan di Komunitas Bunga Pustaka.

Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Cerpen yang dikirim orisinal, hanya dikirim ke Cendana News, belum pernah tayang di media lain baik cetak, online atau buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Karya yang akan ditayangkan dikonfirmasi terlebih dahulu. Jika lebih dari sebulan sejak pengiriman tak ada kabar, dipersilakan dikirim ke media lain. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.

Lihat juga...