Intelijen Amerika di Balik Pak Harto Berhenti
OLEH: NOOR JOHAN NUH
Namun, di hari paling kritis tanggal 1 Oktober 1965, sore harinya, malah Presiden Soekarno menyatakan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan menetapkan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai Pelaksana Harian Pimpinan Angkatan Darat yang diumumkan melalui radio. Pada hari itu terjadi dualisme pimpinan Angkatan Darat—Presiden Soekarno dan Mayor Jenderal Soeharto, pada hari di mana Angkatan Darat kehilangan enam jenderal dan satu perwira pertama.
Opsir Koppig dan Presiden Soekarno
TANGGAL 2 OKTOBER 1965, Mayor Jenderal Soeharto menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor, melaporkan tindakan yang telah dilakukan sehari sebelumnya—mengambil alih pimpinan Angkatan Darat setelah mengetahui Jenderal A Yani dan enam perwira Angkatan Darat diculik oleh pemberontak G30S/PKI.
Atas keputusan Presiden Soekarno mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto mengatakan di hadapan Presiden Soekarno bahwa ia sudah tidak memiliki kewenangan lagi dan tidak bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan negara, pasca kudeta G30S/PKI.
Mendengar sikap Pak Harto —perwira yang berani menampik perintah presiden pada tanggal 3 Juli 1946 di Yogyakarta karena tidak sesuai dengan hirarki militer— atas sikap itu, Presiden Soekarno menyebut Pak Harto sebagai “Opsir Koppig”. Demikian pula yang terjadi pada tanggal 2 Oktober 1965 —atas sikap Pak Harto menyerahkan urusan pemulihan ketertiban dan keamanan kepada pelaksana harian pimpinan Angkata Darat— seketika Presiden Soekarno seperti menyadari, dalam keadaan negara sedang kritis, sedang genting, ia butuh Opsir Koppig, perwira TNI yang sudah dikenalnya sejak perang kemerdekan dan langsung menugaskan Mayor Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, pasca kudeta berdarah G30S/PKI, dimana penunjukan itu diumumkan melalui RRI pada malam harinya.