Intelijen Amerika di Balik Pak Harto Berhenti
OLEH: NOOR JOHAN NUH
Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto
TANGGAL 11 OKTOBER 1965, tokoh pemberontakan G30S/PKI, Kolonel Latief ditangkap. Di sakunya kedapatan surat untuk pelaksana harian pimpinan Angkatan Darat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro. Atas fakta keterkaitan Pranoto dengan Latief, tanggal 16 Oktober 1965, barulah Presiden Soekarno menetapkan sekaligus melantik Mayor Jenderal Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat, sekaligus menaikan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal.
Sebelumnya, Pak Harto memiliki reputasi gemilang sebagai perwira lapangan —komandan pertempuran yang piawai— dibuktikan dalam pertempuran yang dikenal sebagai Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Suatu serangan yang melibatkan dua ribu lebih pasukan (brigade plus) ke pusat pertahanan tentara Belanda di Yogyakarta, pertempuran terbesar setelah pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945. Sejarah mencatat bahwa Serangan Oemoem 1 Maret sebagai “pertempuran terakhir” mengusir penjajahan Belanda di Indonesia.
Sebelumnya, dari beberapa jenderal yang berada di bawah kekuasaan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI yakni Mayor Jenderal A Yani, Mayor Jenderal Sarbini—tentu Pesiden Soekarno memiliki pertimbangan khusus pada waktu menetapkan Opsir Koppig Mayor Jenderal Soeharto dan sebagai Panglima Komando Mandala merebut Irian Barat dari kolonial Belanda.
Meskipun pada akhirnya Belanda mengembalikan Irian Barat melalui perundingan, tapi tidak bisa dinafikkan bahwa sebagai Panglima Komando Mandala yang ditugasi merebut kembali Irian Barat, pasukan Pak Harto sudah menyusup ke Irian Barat—diantaranya dikenal dengan Operasi Naga di bawah komando Mayor Beny Murdani yang kemudian menjadi Panglima ABRI. Persiapan terakhir (combat ready) untuk melakukan penyerangan (invasi) ke Irian Barat, telah ditentukan D-Day nya.