Larangan Mudik, INDEF: Kebijakan Presiden tak Boleh Kontradiksi

Editor: Makmun Hidayat

Ekonom senior INDEF, Didik J Rachbini pada diskusi online INDEF beberapa waktu lalu. -Foto: Sri Sugiarti

“Jungkir balik makro apa pun nggak ada gunanya kalau Covid-19 ini nggak selesai,” ujarnya.

Contoh yang selesai adalah sebut dia, negara China telah melakukan lockdown dengan kebijakan yang tegas, yang dalam waktu singkat bisa mengendalikan yang meninggal. Begitu juga dengan Jerman, Singapura dan Vietnam berhasil menangani Covid-19.

“Yang tidak tegas adalah Indonesia. ketidaktegasan itu taruhannya nyawa. Jadi pendapat saya, presiden tidak boleh menyampaikan signal informasi kebijakan yang kontradiksi tentang larangan mudik,” ujarnya.

Analisis Bid Data INDEF yang dirilis hari ini, Minggu (26/4/2020) dari survai riset yang dilakukan pada 27 Maret-25 April 2020, dari 46.0000 percakapan di media sosial dengan jumlah orang mencapai 397,2 juta, tercatat sebesar 54 persen sentimen negatif terhadap pemerintah.

54 persen ini  dalam hal ketidaktegasan larangan mudik. Larangan mudik pemerintah hanya sebatas anjuran.

Padahal menurut Didik, larangan mudik itu sama dengan PSBB. Tapi ketidaktegasan percakapan sentimen negatif sebesar 54 persen.

Terkait penyataan Presiden Jokowi tentang mudik, hingga ramai menjadi percakapan di medsos mendapat posisi 54 persen sentimen negatif.  Maka, Didik menilai kalau Presiden Jokowi  itu khawatir dia tidak akan disukai oleh masyarakat Jawa.

Menurutnya, seorang presiden tidak boleh lagi mempunyai pandangan seperti calon presiden (capres) kaya masa kampanye masih ingin popularitas tinggi. Kemudian tidak mau menjalankan kebijakan yang tidak populis tapi benar.

“Ini seperti kebijakan yang tidak tegas ingin populer, ingin agar tetap disukai oleh rakyat. Tapi menjerumuskan rakyat kepada  tiang lahat kematian atas kebijakan ketidaktegasan larangan mudik itu,” tukasnya.

Lihat juga...