MALAM lebaran. Seekor kunang-kunang hinggap di jendela. Sayup terdengar alunan takbir berkumandang. Hujan baru saja reda.
Langit berawan pelan-pelan terurai. Angkasa tersingkap. Samar-samar tampak kerlip bintang-bintang. Kami, aku dan istriku, duduk di beranda. Bercakap-cakap sembari menikmati kuaci dan kurma usai berbuka. Mendadak istriku mengenang pertemuan kami dengan Ladrak.
“Apakah dia masih hidup lebaran ini? Atau sudah mati?” tanya istriku. Tangannya sibuk mengupas kuaci. Guntur menggelegar. Udara dingin sekali.
“Entahah. Tapi…Ah, sudahlah, Bu. Yang lalu biarlah berlalu. Tak usah dikenang-kenang lagi,” kataku sambil mengunyah kurma.
“Siapa yang bisa menghapus ingatan? Apalagi itu pengalaman paling buruk. Aku bisa memaafkannya, tapi tak akan melupakan segala yang terjadi karenanya,” sergah istriku.
Aku bertemu dengan Ladrak persis seperti malam ini. Beberapa tahun lalu. Hujan baru saja reda dan langit dipenuhi kerlip bintang-bintang dan kenikmatan jus kurma melepas dahaga akhir puasa. Kala itu hari terakhir Ramadan.
Aku bertemu dengan Ladrak di sebuah kafe bernama Manifesco, yang letaknya di jalan Jalmak, samping SMPN 8 Pamekasan. Tak ada yang aneh dari perawakannya. Kakinya tidak tiga, tangannya tidak seperti tentakel gurita. Normal saja.
Wajahnya bulat telur. Lusuh. Penuh bekas jerawat. Rambutnya bergelombang. Umurnya dua puluh delapan tahun dan ia seperti lidi, kurus, dan tinggi.
Yang aneh hanya airmukanya. Airmukanya dipenuhi kesedihan. Aku banyak melihat orang putus asa. Tapi belum pernah kulihat orang sesedih dia. Bagaimana tidak? Ia bersikeras hendak bunuh diri tepat di malam lebaran.