Tapi, entah nasib sial atau nasib buruk, takdir berkehendak lain. Rencananya selalu gagal. Nyawanya masih lekat di badan. Mungkin rasanya seperti sembelit. Atau kencing batu.
Pacarku yang kini jadi istriku yang mula-mula memperkenalkannya kepadaku dan memintaku menulis kisah hidupnya yang menurutnya menarik. Entah tragis entah lucu.
“Apa yang menarik?” tanyaku penuh selidik. Banyak orang punya pengalaman tragis. Soalnya, menceritakan ulang tak ubahnya seperti mimpi tanpa bobot. Tak peduli apakah ia mengerikan, indah atau santun, kengerian atau keindahannya sama sekali tak punya makna.
“Dia dulu seorang pembunuh bayaran. Ia telah membunuh banyak orang. Terakhir ia membunuh seorang kiai. Tepat di malam lebaran. Dan jadi titik balik hidupnya. Kiai itu bukannya menghindar atau lari, malah mendatanginya. Seolah tahu hari kematiannya. Dan tanpa perasaan takut memintanya menembaknya tepat di jantungnya. Ia menembaknya. Tapi kemudian ia merasa menyesal. Sangat menyesal dan memutuskan bunuh diri setiap malam lebaran tiba. Untuk menebus dosa-dosanya. Herannya, ia selalu gagal mengakhiri hidupnya. Seolah langit dan bumi menolak jiwa dan jasadnya.”
“Baiklah. Akan kutemui dia,” kataku.
“Semua biaya riset untuk penulisan kisah ini, temanku yang tanggung. Kirim nomor rekeningmu. Jangan sungkan,” kata pacarku memberi semangat. Tapi aku tak mengubrisnya. Tak semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, bukan?
Menulis bagiku adalah keriangan. Itu yang membuatku masih hidup meski menderita jantung koroner dan ayan. Aku menemui orang yang tak kukenal dengan sedikit rasa curiga jangan-jangan pacarku sedang nge-prank aku.