Lebaran

CERPEN EDY FIRMANSYAH

Percobaan yang kedua di malam lebaran tahun berikutnya, ia lakukan dengan melompat dari gedung tinggi. Ia menjatuhkan diri dari lantai 9 sebuah apartemen. Saat meluncur dengan kecepatan tinggi ia memejamkan mata dan berkali-kali bertakbir berharap mati sahid.

Ketika pertama kali mendarat, ia merasa telah mati dan jiwanya melayang di udara. Sampai kemudian ia mendengar teriakan histeris dan tangis orang-orang. Ketika membuka mata, ia sadar ia masih bernyawa. Kok bisa? Ternyata gedung sebelah mengalami kebakaran dan petugas pemadam menggelar ski kasur yang lebarnya seperti lapangan futsal.

Ia mendarat tepat di atasnya. Ia menangis. Orang-orang menangis. Yang tak orang ketahui, ia menangis bukan karena selamat dari maut. Tapi karena gagal menyongsong ajalnya sendiri.

Aku menduga ia punya kepribadian impulsif. Itu yang membuatnya memiliki dorongan untuk lepas dari rasa sakit dan keinginan itu tak bisa ia dikendalikan. Semakin impulsif, semakin toleran pada rasa sakit, dan semakin tidak takut akan mati.

Sesederhana itu. Kata sebuah buku psikologi yang aku lupa judul dan nama pengarangnya. Karena itu percuma menggurui atau menasehatinya soal amal baik atau azab kubur. Itu sama sekali tak ada gunanya. Seperti minum kencing onta sebagai obat kuat di tengah melimpahnya viagra.

“Apakah kau pernah melakukan cara lain selain dua percobaan bunuh diri yang kau ceritakan itu?”

Ia diam. Lantas tangannya kembali meraih pistol di meja. Memutar silindernya secara acak. Meletakkan ujung pistol di keningnya, lantas menarik pelatuknya. Aku berteriak histeris dan berusaha meraih tangannya.

Para pengunjung menoleh dan ikut berteriak. Tapi terlambat. Ia telah menarik pelatuknya. Klik. Sungguh dadaku berguncang hebat. Tubuhku gemetar.

Lihat juga...