Lebaran

CERPEN EDY FIRMANSYAH

Bukankah mestinya aku bahagia dan tak terlalu merasa iba, sedangkan ia terbebas dari penderitaannya di bumi yang bagaimanapun menurut pikirannya adalah ladang derita?
***
AKU telah melupakan Ladrak. Aku menikah dengan pacarku. Sejak menikah istriku mulai rajin suntik silikon, memasang kawat gigi, diet karbo, dan ikut yoga. Dan kami punya anak perempuan berusia lima tahun.

Sampai kemudian, tiba-tiba Ladrak mengirim email padaku. Tentang upaya bunuh dirinya yang lagi-lagi, gagal. Percobaan bunuh dirinya yang entah keberapa tepat di hari lebaran adalah dengan menabrakkan diri ke mobil di jalan raya bebas hambatan.

Ia berlari dari gang sempit yang terhubung ke jalan raya yang ramai kendaraan. Kemudian tanpa menoleh, ia menyeberang. Ia tertabrak mobil. Lukanya parah. Sialnya, yang menabraknya mobil ambulan.

Ia mendapat perawatan intensif oleh seorang dokter muda yang cantik. Ia sembuh. Dan jatuh cinta pada dokter muda itu. Sialnya lagi, dokter itu ternyata lesbian.

“Mungkin aku ditakdirkan abadi. Tapi aku memikirkan cara lain kali ini. Aku akan menyerahkan diri ke polisi dan berharap dihukum mati. Apakah kau akan menulis kisahku kalau aku mati?” tulisnya di akhir email.

Sebenarnya aku telah menuliskan kisahnya. Tapi teronggok bisa dalam folder cerita di komputerku. Belum berani aku publikasikan. Karena hal itu aku selalu berpura-pura terutama pada istriku aku tak pernah menuliskan kisahnya.

“Sungguh aku tak tahu cara memulai kisahnya itu. Dia terlalu unik. Ladrak adalah cerita dari segala cerita. Ia tak pernah ada ujungnya,” kataku pada istriku suatu ketika.

Aku tersenyum membaca emailnya. Kemudian aku membalas email-nya. Sambil memangku anakku aku mulai mengetik: “Semoga lebaran kali ini kematianmu diterima langit dan bumi!”

Lihat juga...